Mohon tunggu...
Andayo Ahdar Notes
Andayo Ahdar Notes Mohon Tunggu... Freelancer - menulis, membaca satu paket untuk melihat bangsa

membaca dan menulis, semuanya penting. tuk menatap peradaban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asap Lenyap, Emas Mencuat, Prostitusi Merebak

12 Desember 2015   00:26 Diperbarui: 12 Desember 2015   01:03 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hujan mulai membasahi bumi pertiwi, dari rinai hingga deru lebat gelegar gemuruh petir dalam sahutnya. Asap mulai mereda ditimpali banjir dan longsor diberbagai tempat. Kondisi ke-kinian yang mengekspos, memaksa perhatian untuk dijadikan sorotan publik. Kicauan alam menyeruak. Lenyapnya asap seiring dengan lenyapnya cerita dan berita duka atasnya. Kisahnya telah menjadi bahan ’mortir’ sebuah tameng pembiaran sebuah masalah. Ya, bahasa yang lebih dipahami pasar gosip bangsa ini adalah ”Pengalihan isu”Kini lenyap membumbung kelangit berpencar membuyar tanpa jejak.

Episode asap stop sampai disini, episode baru dengan skenario yang terlihat modern namun dikupas dari kisah lawas bagi para elit bangsa. Kasus yang diangkat dari pelosok negeri terjauh dan terdalam hingga ke perut bumi. Bumi kuning gemerlap, EMAS. Kisahnya silahkan ikuti pada siaran televisi kesukaaan anda. Karena interpretasi bisa semakin berbeda dari mulut komentator yang membahasnya pada pelbagai sudut pandang.Ilmiah,kritikan,candaan, cemoohan dan perspektif yang semakin membuat rakyat ini menjadi penonton setia. Persoalan bangsa kian bertumpuk bagaikan tumpukan sampah yang belum sempat terangkut berhari-hari lamanya dikarenakan truk sampahnya rusak dan pekerjanya belum mendapatkan gajinya dari beberapa bulan kemarin, kompleks. Kian kompleks.

Namun ditengah-tengah Perbincangan dan perseteruan “Emas Gate”. Muncul kisah romantisme tabu dalam tabulasi kenikmatan berbayar yang tentunya, menegangkan urat- urat syaraf pelakunya. Kisah ini sengaja dicuatkan sebagai pengalih pandang dari silaunya emas yang cukup mengganggu emosi penonton yakni rakyat Indonesia, apalagi mereka yang memiliki hobby menikmati kisah-kisah Porno yang mencoba berspekulasi dengan menghubungkan kisah-kisah dari episode bangsa ini.

Tontonan live serta obrolan yang mengangkat citra bangsa ini ke kancah yang melambungkan nama-nama tokoh,pejabat serta manusia-manusia yang dulunya kita tak pernah mengenalnya, kini terpaksa harus kita dikenal karena sepak terjangnya. Inilah sebuah pembuktian yang membuat rakyat ini harus terus menelan nestapanya hingga kelakar demi kelakar muncul bak cendawan di musim hujan yang tengah berlangsung. Homo homoni lupus adalah personifikasi ikan gabus yang setelah kian dewasa, menjadi serigala bagi ikan-ikan sungai disekelingnya bahkan bangsanya atau sejenisnya tidak luput menjadi mangsanya. Kini hal itu sudah banyak bergeser dari kehidupan ikan-ikan gabus karena mereka mulai ditangkarkan, dikembangbiakan dengan sebaik-baiknya. Ahhh, kini ikan-ikan itu menjadi prototype bagi manusia masa kini yang suka dengan kenikmatan “” Istidraj”” (silahkan cari literatur makna tersebut). Siapa yang harus dipersalahkan untuk masalah ini. Apakah asap yang diambang batas normal? Atau Emas yang kemilaunya tak pudar-pudar? Ataukah kebiasan para wanita yang senang memancing libido para lelaki di air yang keruh?.kita tunggu episode berikutnya. Semoga rakyat sebagai penonton setia tetap terurus dengan baik, karena sebahagian dari mereka ada yang senantiasa menitipkan airmatanya dimalam-malam kelam dalam sujud da doanya yang panjang dengan harapan kehidupan bangsa ini bisa berjalan diatas roda kebenaran.

Untuk saat ini dengan kondisi yang kian berat, perbanyak berbuat yang bermanfaat bagi diri terutama, keluarga serta orang lain. Kuatkan aqidah, kuatkan fisik, kuatkan ukhuwah.

Bangsa ini sedang galau namun para pelaksana bangsa merasa tidak galau dengan bangsanya, mereka galau bila ucapan,nama serta dirinya terrekam apalagi ketahuan sedang mengcangkul dilahan yang wangi tanpa lumpur. eighhh. “”
#maaf bila salah kata, apalagi menulis saat mata mulai redup namun hati kami ngilu
Makassar,12 Desember 2015,Pukul 01”:07 Am.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun