Mohon tunggu...
Melly Syafaat
Melly Syafaat Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Hallo, nama saya Melly Khoironi Syafaat lebih akrab dipanggil Melly, mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Program Studi Hukum Keluarga Islam Angkatan 2023. Saya wanita capricorn cenderung memiliki kepribadian yang cerdas, mandiri, bertanggung jawab dan sangat berorientasi pada karier. Mungkin saya perlu belajar untuk santai, karena wanita capricorn sering kali terlalu keras pada diri sendiri dan orang lain. Yaa itulah saya, salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyangkalan Nasab dalam Hukum Islam:Tinjauan Yuridis menurut KHI Pasal 99 dan Pasal 100

25 Mei 2025   15:21 Diperbarui: 25 Mei 2025   15:20 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nasab atau garis keturunan merupakan salah satu aspek fundamental dalam hukum Islam yang berkaitan langsung dengan identitas seseorang, hak waris, dan status hukum di masyarakat. Dalam konteks hukum keluarga Islam di Indonesia, nasab diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)  yang menjadi pedoman bagi peradilan agama. Salah satu isu penting yang sering muncul dalam praktik adalah penyangkalan nasab, yaitu ketika seorang suami menolak mengakui anak yang lahir dari istrinya sendiri. Artikel ini akan membahas bagaimana hukum Islam, khususnya melalui KHI Pasal 99 dan Pasal 100, memandang persoalan penyangkalan nasab, serta argumen yuridis yang mengikat dalam penyelesaiannya. Sudah jelas disebutkan dalam Pasal 99 dan Pasal 100 KHI, bahwasanya:

Pasal 99 KHI:

"Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah."

Pasal ini menegaskan bahwa status keabsahan anak ditentukan oleh sah atau tidaknya perkawinan orang tuanya menurut hukum agama dan negara.

Pasal 100 KHI:

"Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya."

Pasal ini menjelaskan bahwa jika anak dilahirkan di luar ikatan perkawinan sah, maka ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu biologisnya. Dalam hukum Islam, terdapat kaidah fikih yang menjadi pedoman utama dalam penetapan nasab:

"Al-walad lil firasy, wa lil ‘āhir al-hajar"

(Anak itu dinisbatkan kepada pemilik tempat tidur [suami], dan bagi pezina adalah batu [hukuman]) HR. Bukhari dan Muslim.

Kaidah ini menunjukkan bahwa selama seorang perempuan berada dalam ikatan pernikahan atau masa iddah, anak yang lahir darinya dianggap sebagai anak dari suami yang sah, kecuali terbukti secara kuat bahwa anak tersebut bukan hasil hubungan dengan suami tersebut.

Ada beberapa Argumen Hukum Penyangkalan Nasab, yaitu:

  • Tidak Dapat Dilakukan Secara Sepihak
    • Suami tidak bisa begitu saja menyangkal bahwa anak tersebut bukan anaknya tanpa proses hukum. Penyangkalan nasab harus dilakukan melalui pengadilan, dengan bukti yang kuat seperti tes DNA dan fakta-fakta hukum yang relevan. Tanpa proses hukum, penyangkalan semacam itu tidak memiliki kekuatan yuridis.
  • Perlindungan Hukum bagi Anak
    • Hukum nasional dan internasional menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak atas identitas dan pengakuan nasab yang sah. Kalau dilihat dalam konteks hukum Indonesia ada pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, menjamin hak anak atas asal-usul, identitas, dan nama baik. Penyangkalan nasab tanpa dasar hukum berarti merampas hak anak secara tidak sah dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi.
  • Pembuktian di Pengadilan
    • Jika suami tetap meyakini bahwa anak tersebut bukan hasil hubungan dengannya, maka ia wajib menggugat ke Pengadilan Agama dan mengajukan permohonan penetapan nasab. Hakim akan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan secara objektif. Namun, dalam banyak kasus, jika anak lahir dalam masa perkawinan atau masa iddah (biasanya maksimal 6 bulan setelah perceraian), maka secara hukum nasab tetap dinisbatkan kepada suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun