Mohon tunggu...
Melati Puspita Sari
Melati Puspita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - IR student

Not here for be the smartest one. Feel free to teach or criticize my writing!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Konflik Sampit Tahun 2001 Menggunakan Pohon Konflik

30 September 2022   18:15 Diperbarui: 30 September 2022   18:15 6858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku bangsa. Jika kita mengacu pada data sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik pada 2010, terdapat 300 kelompok suku bangsa di Indonesia yang jika di telusuri lagi dapat mencapai 1.340 suku bangsa. Suku Madura dan Dayak salah satu suku yang termasuk dalam keberagaman suku-bangsa yang ada di Indonesia. Dari keberagaman suku dan bangsa yang ada di Indonesia, tak sedikit pula terjadi beberapa konflik antar suku disebabkan karena sejumlah kepadatan penduduk yang hanya terpusat di wilayah Jawa saja yang membuat sejumlah suku Madura diharuskan bertransmigrasi menuju Kalimantan Tengah. Dari terjadinya hal ini pula, terdapat beberapa penjelasan mengenai faktor terjadinya konflik antara kedua suku ini. Salah satu penjelasan yang paling seringkali di bahas di beberapa penelitian yakni mengenai proses peralihan otorianisme kala Orde Baru menuju ke era Demokrasi. Adanya ketidakpastian ekonomi, politik, dan hukum di masa peralihan pemerintahan ini telah mengakibatkan gagalnya suatu negara dalam menegakkan sistem dan kontrol pada masyarakat (Cahyono, 2008)


Konflik yang terjadi antara Suku Madura dan Suku Dayak ini di sebut Konflik Sampit. Konflik ini melibatkan kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai penduduk asli (Etnis Dayak) yang berhadapan dengan para kelompok transmigran (pendatang) yakni Etnis Madura. Akibat dari adanya konflik inipun sangat cukup mengorbankan banyak jiwa. Aksi saling bunuh, memenggal kepala dengan rasa ketidakpercayaan antara satu sama lain menjadi motif utama aksi ini di lakukan. Awalnya, konflik antar etnis ini di mulai ketika kelompok Dayak dengan membawa senjatanya (busur, panah dan tombak) seketika menyerang Kota Sampit. Beberapa orang di antaranya menyisiri sejumlah tempat tinggal orang Madura lantas memenggal kepalanya. Semua mendadak semakin ricuh dengan berikutnya kelompok Dayak sudah memperluas serangannya dengan mengelilingi kota dengan perasaan Bahagia sembari mengangkat potongan kepala hasil penggalan mereka dengan darah yang masih menetes. Korban dari pemenggalan ini berjumlah ratusan dengan ribuan orang Madura yang berhasil menyelamatkan diri dari peristiwa tersebut menuju ke kantor pemerintah. Selepas kejadian, pemerintah memutuskan untuk mengirim kembali orang Madura ke tempat asalnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, artikel ini mencoba untuk menganalisis bagaimana konflik sampit terjadi dengan menggunakan pohon konflik.


Pemahaman Mengenai Level Eskalasi Konflik Glasl
Model eskalasi Glasl adalah alat diagnostik yang sangat berguna bagi fasilitator konflik, tetapi juga berharga sebagai sarana untuk membuat orang peka terhadap mekanisme eskalasi konflik. Kepekaan semacam itu dapat mengarah pada kesadaran yang lebih besar tentang langkah-langkah yang harus dihindari seseorang jika ingin mencegah konflik meningkat di luar kendali. Dalam perspektif yang lebih akademis, model ini juga memberikan teori eskalasi konflik yang menekankan tekanan situasional yang bekerja pada orang-orang yang terlibat dalam konflik. Alih-alih mencari penyebab pada individu, model ini menekankan bagaimana ada logika internal dalam hubungan konflik, yang berasal dari kegagalan cara-cara “jinak” dalam menangani kepentingan dan sudut pandang yang kontradiktif. Upaya sadar diperlukan untuk melawan mekanisme eskalasi, yang dipandang memiliki momentumnya sendiri. (Thomas, 2000)


Tingkat Eskalasi

1. Hardening: Posisi sangat serius, mulai ada konfrontasi pertama. Masih ada keyakinan bahwa permasalahan bisa di selesaikan dengan diskusi.
2. Debat, polemik: Polarisasi pemikiran, perasaan dan kemauan. Pemikiran hitam putih. Persepsi superioritas dan inferioritas.
3. Tindakan bukan kata-kata: “Berbicara tidak akan membantu lagi”. Strategi “fait accompli”, menghadirkan lawan dengan fakta di lapangan, aksi fisik. Empati hilang, ada bahaya interpretasi yang salah dari pihak lain.
4. Citra, koalisi: Partai-partai saling bermanuver ke dalam peran negatif dan melawan peran tersebut. Pihak mencari dukungan dari orang-orang yang belum terlibat selama ini.
5. Kehilangan muka (lose of face): Serangan umum dan langsung terhadap integritas moral lawan, yang bertujuan untuk menghilangkan mukanya. Sebuah langkah eskalasi besar.
6. Strategi ancaman: Adanya ancaman dan ancaman balasan. Konflik dipercepat melalui ultimatum.
7. Destruktif terbatas (limited destructive): Lawan tidak lagi dilihat sebagai manusia. Munculnya serangan: dehumanisasi, pukulan destruktif dijustifikasikan. Value shifted.
8. Fragmentasi: Penghancuran dan fragmentasi sistem lawan adalah tujuan utamanya.
9. Bersama-sama ke dalam jurang (together into the abbys): Konfrontasi total tanpa kemungkinan untuk mundur. Kehancuran diri sendiri diterima sebagai harga kehancuran lawan.


Konflik ini bermula ketika para transmigran Madura telah menduduki 21 persen populasi di Kalimantan Tengah. Akibatnya, penduduk asli Kalimantan Tengah merasa tidak puas dan merasa tersaingi oleh kedatangan mereka.


• Analisis Level Konflik

Level konflik yang terjadi pada permasalahan ini adalah limited destructive (destruktif terbatas) karena konflik ini sudah berada di suatu posisi di mana suku Dayak (selaku penyerang utama) tidak lagi memandang bulu orang yang akan mereka lawan. Suku Dayak, dalam penyerangan ini sudah menjustifikasi tindakan yang mereka lakukan terhadap suku Madura dengan tidak adanya lagi pembicaraan/diskusi terkait bagaimana mereka ingin menyelesaikan rasa ketidakpuasan mereka terhadap kedatangan transmigran Madura. Asumsinya, dengan serangan seperti itu tujuan dari apa yang mereka ingin capai dari penyerangan tersebut sekiranya dapat dijadikan ketakutan yang akan membuat suku Madura dapat meninggalkan tempat ini dan merasakan amarah serta ketidaksukaan suku Dayak terhadap kedatangan para transmigran.


Fenomena konflik Sampit ini dapat pula dianalisis menggunakan ilustrasi pohon konflik. Pohon konflik merupakan salah satu cara untuk mencari pokok permasalahan yang terjadi serta menganalisa akibat dari konflik yang terjadi.

Dari gambar di atas, dapat diketahui akar dari permasalahan konflik Sampit terjadi di mulai ketika kesenjangan ekonomi yang terjadi selepas munculnya suku Madura ke wilayah mereka membuat mereka merasa tidak adil dan seringkali berkat program transmigrant inilah suku Dayak seringkali merasa di acuhkan, dikucilkan dan mendapat keputusan diskriminatif oleh pemerintah setempat kepada mereka. Dari pohon konflik itu, selanjutnya terjadi situasi kerusuhan tak terhindarkan yang di mulai langsung oleh Suku Dayak dengan langsung mendatangi penduduk serta melakukan pemenggalan. Kasus ini memicu kerusuhan yang menyebabkan beberapa property milik suku Madura di hancurkan serta properti lainnya yang turut menjadi efek dari adanya peristiwa ini.

STRATEGI MENGELOLA KONFLIK
Penulis menggunakan analisis roda (conflict wheel) yang didukung dengan Teori Deprivatisasi Relatif oleh Robert Ted Gurr.
• Conflict Wheel
Roda Konflik adalah representasi grafis dari faktor-faktor yang menimbulkan potensi konflik. Konsep Roda Konflik penting bagi siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian sengketa karena dengannya, seseorang dapat mempersiapkan diri untuk interaksi yang rumit dan menegangkan dengan orang lain. Terdiri dari struktur, emosi, sejarah, komunikasi, dan nilai-nilai, titik-titik konflik sepanjang roda mengingatkan kita pada titik-titik perdebatan yang memisahkan perasaan dan pengalaman seseorang dari orang lain.
• Teori Deprivatisasi Relatif
Gurr mendefinisikan deprivasi relatif sebagai persepsi individu atas jarak negatif antara nilai ekspektasi (value expectations) dan nilai kapabilitas (value capabilities). Nilai ekspektasi adalah harapan individu akan kualitas hidup tertentu yang dipercaya dirinya berhak untuk memiliki atau menikmatinya. Nilai kapabilitas adalah suatu kondisi di mana mereka percaya mampu untuk mencapai harapan tersebut (Gurr, 1971: 23-24)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun