Mohon tunggu...
Sosbud

Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas"

21 April 2019   13:34 Diperbarui: 21 April 2019   13:48 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karya : Neng Dara Affiah

Buku yang diawali dengan penuh rasa keadilan terhadap dunia perempuan yang selama ini dipandang sebagai komoditas belaka bagi kaum laki-laki di tilik dari sejarah islam dengan berbagai tafsiran alquran dan haditst dalam menjawab bagaimana derajat perempuan di mata agama.

Bab I ini menjelaskan bagaimana pandangan islam terhadap kepemimpinan seorang perempuan. Bagi para kaum fundamental mereka menggunakan berbagai ayat dan hadits untuk di jadikan dasar sebagaimana kedudukan perempuan yang bawah laki-laki, contohnya saja seperti surat An Nisa : 34 yang artinya " laki-laki adalah qawwan dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan" dan dari rujukan hadits " tidak akan Berjaya suatu kaum/masyarakat jika kepemiminannya di serahkan kepada perempuan"Di lihat dari konteks ayat dan hadits tersebut menurut ahli tafsir kedua rujukan tersebut di gunakan sesuai konteks keadaan pada zamannya, tidak bersifat haqiqi dan berarti fungsional.   

Kepemimpinan perempuan dalam masayarakat islam seringkali mendapat tekanan dari para apa yang bisa di sebut sebagai agamawan bahwasannya perempuan dilarang untuk memimpin suatu negara dan lagi lagi merujuk dalam teks qawwan tersebut. Seperti yang terjadi di dindonesia ketika megawati soekarno putri telah diangkat menjadi presiden. Banyak yang tidak mengakui dirinya sebagai pemimpin negara, KUII 1998 mengakan " perempuan dilarang untuk menjadi khilafah" hal ini berurusan sebeagaimana menajdi pemimpin imam yag seharusnya adalah laki-laki. Padahal merujum pada prinsip dasar manusia diciptakan yaitu sebagai pemimpin dibumi bukan tidak mungkin perempuan dapat menjadi pemimpin.

Jika mengenai kualitas diri seorag perempuan banyak sekali rujukan rujukan sejarah kuatnya seorang perempuan seperti siti khodijah yang menajdi penopang hidup Nabi semasa perjuangannya ratu balqis yang menjadi penguasan dengan keadilan dan mempedulikan kesejahteraan rakyatnya, serta aisyah yag pernah mempin dalam sebuah peperangan. Hal ini menunjukan tidak ada alasan kuat larangan seoang perempuan tidak dapat menjadi pemimpin.

Di bab 2 kita akan menemukan pandangan islam terhadap seksualitas perempuan. Di bab ini kita di pertemukan mengenai derajat perempuan dalam hukum keluarga dan juga jilbab. Hukum keluarga yang di sampaikan ini adalah mengenai perkawinan dan juga poligami, dalam agama islam, katholik, dan juga yahudi. teks yang terkandung dalam perkawinan ini lebih banyak memandang bahwa wanita bukanlah peran utama melainkan hanyalah objek dari laki-laki, konteks konteks ayat yang di keluarkan cenderung untuk laki-laki.

Sejatinya pernikahan adalah hubungan yang di sahkan oleh agama agar terhindar dari perzinahan. Perzinahan ini tentunya akan mengalami banyak kerugian khususnya di pihak perempuan. Keperawanan yang hilang sebelum melakukan pernikahan di anggap sangat kotor dan menjadikan perempuan tersebut sebagai diri yang hina sedangkan keperjakaan laki-laki tidak dipermasalahkan.

Poligami pun dianggap lebih menguntungkan pihak laki-laki. Padahal semasa zaman nabi, mereka melakukan praktek poligami karena untuk meningkatkan derajat kaum perempuan seperti budak perempuan dan mensejahterahkan janda janda dari suami yang sudah gugur dalam perang. Artinya ujuan poligami pada masa itu lebih bersifat keadilan dan keberpihakan kepada perempuan yang lemah posisinya. tetapi jika di tinjau pada masa sekarang motif tersebut seakan terlupakan, para laki-laki ini cenderung lebih mengedepankan nafsu belaka ketimbang keadilan.

Hal ini terlihat dari cara laki-laki yang memilih menikah lagi dengan pasangan yang jauh lebih cantik ketimbang istri pertama. Alasan mereka akhirnya mempunyai lebih dari satu istri adalah bahwasannya itu merupakan sunnah nabi dan islam pun memperbolehkan adanya poligami asalkan dapat berlaku adil. Meskipun begitu Allah sudah meriwayatkan sejatinya manusia tidak dapat berlaku adil. Dari sini hukum keluarga muslim dalam perspektif feminis adalah bias gender berbaasis pada ideollogi partriarki dan mengabaikan perempuan sebagai subyek hukum. Karena itu produk hukum ini harus diubah dengan mempertimbangkan suara kesetaraan dan keadilan perempuan sebagai subyek hukum

Jilbab adalah bentuk tawaran al-quran kepada umat islam  untuk menghindari kemungkinan para perempuann di lecehkan secara seksual oleh laki-laki sekaligus menandakan wanita itu sebagai seorang muslim dari kalangan atas. Penggunaan jilbab ini akhirnya meluas menjadi semua kalangan wajib menggunakannya di masa khalifah Qhadirbilah. Di Indonesia sendiri jilbab menjadi tren tersendiri, bahkan di era reformasi ini jilbab seakan akan menjadi alat politik karena terlihabat islam jika menggunakan jilbab dan dapat menampug suara dalam pemilu.

Bab 3 buku ini membahas perempuan, islam, dan negara di awali dengan pandangan feminis terhadap islam yang menuruutnya islam merupakan teori yag menjembatani kesenjangan antara konsep keadilan yang memengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di stu sisi, dan HAM di sisi lain ia muncul dalam dasawarsa 1990-an dengan penekanan bahwa modernitas merupakan suatu yang kompetibel dengan islam dan bahwa pemahaman manusia terhadap teks teks suci islam merupakan sesuatu yang lentur, teks dapat di intepretasikan untuk mendorong pluralism, HAM, demokrasi dan kesetaraan gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun