Mohon tunggu...
Melati Ariena
Melati Ariena Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa jelata

A medical student aspiring to impact people on both individual and communal scale

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Jakarta dalam Pandemi

6 April 2020   00:49 Diperbarui: 6 April 2020   07:25 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya biasanya makhluk malam. Kalau malam saya suka jalan-jalan entah ke mana; mungkin nongkrong di sebuah gerai ayam goreng cepat saji di Tebet yang buka 24 jam sambil nugas (atau procrastinating nugas), mungkin menikmati pusat-pusat kuliner di malam hari seperti Jalan Sabang. Meski harga sate ayam di Sabang mahalnya nggak masuk akal, ada beberapa kafe dan restoran di Sabang yang menjadi favorit saya.

Itu sebelum negara api COVID-19, menyerang. Tadi ketika saya naik motor menyusuri Jl. Dr. Soepomo, sekitar pukul 8, gerai ayam goreng cepat saji tempat saya biasa nongkrong tutup; sekarang tidak lagi buka 24 jam dan hanya menerima takeaway. Saya yakin Sabang juga saat ini sudah sepi, pedagang tutup untuk mencegah keramaian. Niat awal belanja persediaan makanan ke sebuah supermarket harus saya batalkan karena supermarket yang biasanya buka hingga pukul 9 malam tersebut kali ini tutup lebih awal. Akhirnya saya mampir ke sebuah warung kopi yang masih buka karena saya benar-benar butuh kafein.

Warung-warung pinggir jalan masih buka. Pedagang kaki lima masih berjualan seperti biasa. Padahal kota-kota lain yang zona merah katanya sudah seperti kota mati, penjaja makanan dan minuman banyak yang tutup, dan entah mengapa Jakarta yang zona merah merona menyala ini sekilas masih terasa normal seperti biasa seakan kematian di Jakarta di bulan Maret kemarin tidak mendadak naik menjadi 4000-an orang dari yang biasanya hanya sekitar 3000. Seakan tidak terdengar suara sirine ambulans setiap saat, berlalu lalang melintasi jalan-jalan protokol di Jakarta.

Di satu sisi, saya paham. Pedagang kaki lima dan usaha mikro lainnya butuh uang untuk bertahan hidup. Setelah dalam dua minggu terakhir menghabiskan lebih dari satu milyar rupiah + ribuan kotak susu untuk memberi asupan nutrisi kepada 2970 tenaga kesehatan garda terdepan di beberapa kota terdampak wabah di Indonesia bersama Nutrisi Garda Terdepan, saya mendapat gambaran kasar jumlah dana yang diperlukan oleh pemerintah untuk memberi makan 10 juta* penduduk DKI Jakarta sebanyak 3 kali sehari kalau benar-benar berniat lockdown se-DKI seperti yang dilakukan di Wuhan. Saya sendiri sedikit bersyukur akan banyaknya pedagang kaki lima yang masih berjualan karena saya jadi tetap bisa makan enak tanpa pusing memasak.

*yang resmi, belum termasuk perantau ber-KTP daerah seperti saya

Tapi saya juga tidak bisa tidak merasa ngeri membayangkan potensi penularan virus di Jakarta dengan belum diterapkannya Pembatasan Sosial Skala Besar secara sungguh-sungguh. Sepanjang yang saya lihat, orang-orang di warung pinggir jalan belum menerapkan prinsip social distancing.

—

Saya adalah mahasiswa kedokteran UI. Akademis kami saat ini menjadi sedikit tidak jelas karena rumah sakit tempat belajar kami menjadi rujukan COVID-19 dan guru-guru kami dikerahkan menjadi panglima perang di garda terdepan. Seorang teman saya sempat viral karena cuitannya di Twitter tentang pengalamannya menjadi pasien suspek COVID dan menyaksikan langsung fasilitas kesehatan yang overwhelmed; dan ini terjadi di pertengahan Maret, entahlah sekarang RS di Jakarta se-overwhelmed apa. Ibunda seorang teman saya meninggal, dan teman saya ini adalah orang di balik program pengerahan relawan mahasiswa kesehatan oleh Kemendikbuddikti; bayangkan teman saya ini berjuang melawan COVID-19 melalui advokasi bersamaan dengan ibunya yang berjuang melawan virus yang sama dari ruang isolasi RS Persahabatan. Seorang kakak tingkat saya di FKUI, yang saya kenal secara pribadi, saat ini menjadi pasien PDP menunggu hasil PCR dan diisolasi di salah satu RS rujukan nasional di Jakarta setelah terpapar oleh pasiennya di kluster Sukabumi. Sebenarnya hasil PCR ini juga entah apa fungsinya karena berdasarkan protokol yang berlaku saat ini, hasil PCR hanya akan diteruskan ke kemenkes untuk dibuat pelaporan harian yang setiap hari dibacakan oleh juru bicara pemerintah namun tidak disampaikan kepada dokter yang merawat pasien. Keharusan untuk menerapkan proteksi diri secara universal, karena tidak tahu pasien mana yang positif, sayangnya tidak dibarengi dengan ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang mencukupi. Tidak heran kakak tingkat saya beserta banyak dokter lain menjadi tertular.

Krisis APD di fasilitas kesehatan semua tingkat, tenaga kesehatan yang bekerja overtime, prosedur pelaporan kasus yang sangat belibet tidak transparan, penelitian dan pembuatan guideline tatalaksana COVID-19 yang selalu berkejaran dengan kecepatan infeksi virus, testing rate yang rendahnya mengerikan, pasien yang terlanjur meninggal sebelum sempat dirujuk, dan sejuta masalah lain menjadi berita medan perang yang saya dengar sehari-hari, firsthand dari para mujahid garda terdepan. Belum lagi berita terkait dokter, profesor, dan tenaga kesehatan lain yang berguguran.

Belum lagi berita-berita terkait pemerintah pusat yang rasanya agak ragu-ragu untuk melakukan tindakan tegas seperti melarang mudik. Sebagai perantau asal daerah, saya sungguh tidak yakin fasilitas kesehatan di daerah sanggup mengatasi wabah sinting yang menularnya lebih cepat dari gosip tetangga ini; lah Jakarta yang berlimpah fasilitas kesehatan saja kelimpungan.

Sejujurnya ada beberapa hal positif yang saya temukan dari wabah COVID ini. Satu, gangguan cemas dan depresi yang saya alami setahun terakhir minggir sejenak karena segala keruwetan masalah pribadi saya tentu saja jauh kalah penting dibandingkan keruwetan masalah pandemi COVID di sekeliling saya. Dua, saya melihat semua orang dari segala sektor bersatu padu dan berjuang dengan segala cara yang bisa dilakukan masing-masing. Seakan semesta bersatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun