Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kenapa Menyesal?

27 November 2020   06:19 Diperbarui: 27 November 2020   06:26 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

 Saya tidak perlu terlalu sering singgah di kapal orang, satu kapal saja cukup dan itu hemat waktu, jika dipikir-pikir.

Juga ketika banyak orang menyesalkan pandemi yang membekukan kegiatan kampus selama berbulan-bulan. Beberapa dari mereka menyumpah karena masa studinya yang melentur hingga menyentuh angka di luar masa wajar ketika saya malah sangat menikmati duduk manis di depan layar laptop, menulis blog yang saya tinggal berbulan-bulan atau membaca buku yang tidak pernah terpikir untuk saya baca sebelumnya.

Bagi saya, pandemi mendatangkan lebih banyak kebaikan. Saya tahu bahwa ternyata ada beberapa orang yang menyukai tulisan saya, saya mendapat seorang kritikus karya yang darinya saya bisa membaca cerita fiksi yang bagus dan gratis.

Tuhan menyediakan toko kacamata di berbagai sudut kota agar kita mendatanginya dan melihat dunia dari berbagai lensa yang berbeda. Sayangnya, jangankan pergi ke toko kacamata, mengetahui bahwa ada toko kacamata saja tidak semua orang bisa.

Jika kembali ke beberapa tahun lalu, saya mengurutkan beberapa pola yang sama. Dari sekolah dasar, saya duduk di institusi yang bisa dianggap institusi nomor dua. 

Lulus dari situ, saya masih ada di institusi nomor dua dan sampai di perguruan tinggi pun masih sama. Padahal yang saya lihat, anak-anak lain dengan nilai Ujian Nasional yang sama atau bahkan lebih rendah dari saya malah ada di institusi yang lebih bergengsi. Bisa dikatakan institusi yang masuk klaster nomor satu.

Untuk yang satu ini, saya masih mencoba mengunyah dan menelan pelan-pelan. Prinsip saya masih sama, saya tidak akan menyesali fakta itu. Saya hanya iri, mungkin itu. Saya hanya belum melihat jalan di ujung lorong, mungkin itu. Sebentar lagi mungkin saya akan melihatnya.

Bagaimanapun, saya rasa orang yang menyesali sesuatu di hidupnya itu seperti meniadakan jembatan yang mengantarkan dirinya ke tempatnya berdiri sekarang. 

Dia tidak akan mungkin sebaik sekarang jika terus menerus melakukan sesuatu yang benar tanpa belajar sedikitpun. Bahkan kebenaran saja butuh keburukan agar benarnya terlihat jelas.

Namun, sebentar, bukankah ada pula narasi yang mengatakan bahwa menyesali kesalahan adalah syarat bagi perbaikan diri?

Mungkin bagi sebagian orang, menyesali kesalahan akan membuat orang itu terpacu untuk menghindari hal itu mati-matian. Bukankah pula dalam agama, syarat sah taubat adalah menyesali perbuatan itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun