Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sang Penyimpang

28 Agustus 2020   20:56 Diperbarui: 28 Agustus 2020   20:47 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hidup adalah sepenuh-penuhnya hak manusia. Masalahnya, apakah tiap manusia bahkan cukup kompeten untuk memiliki hak hidup? Apakah manusia dengan tingkat kejahatan yang tidak dapat ditolerir oleh ukuran manusia lain dapat memiliki hak hidup dengan sepenuhnya?

Sudah banyak sekali bukti bahwa sebagian dari kita setuju dengan penghilangan hak hidup seorang kriminal. Contoh? Dalam skala besar yang dilindungi konstitusi, hukuman mati tentunya. Skala kecil tanpa payung konstitusi?  Penghilangan nyawa secara paksa pada maling-maling kecil yang hakimnya adalah orang sekitar. Meski proses penentuan kesalahan "napi" hukuman mati skala kecil ini perlu dikritisi, tapi kita patut setuju bahwa ini adalah salah satu bentuk persetujuan kita terhadap seorang kriminal.

Lalu apakah ada manusia jenis lain lagi yang tidak cukup kompeten untuk memiki hak hidup? Jika berbicara pada masa pandemi ini sepertinya sangat beralasan bila saya mencatut beberapa spesies manusia yang antara tidak takut mati atau tidak pernah membaca berita. Seenak jidat sendiri tidak mematuhi peraturan. Oh, sebentar, memangnya orang seperti ini perlu jidat untuk melindungi isi kepala? Memang kepala mereka berisi apa?

Bahwasanya manusia merasa terikat dengan individu lain yang dekat dengannya agar dapat berempati tidak akan saya bahas. Sepertinya sudah menjadi pengetahuan umum bila kita hanya berkabung untuk kematian orang yang kita kenal atau yang kita dengar ceritanya terlalu menyedihkan untuk tidak membuat kita berkabung. Tetapi punggawa berjaket hazmat ini, yang ceritanya terlalu banyak tercecer di internet, tidakkah mereka pernah membacanya barang satu penggal saja? Bahwa orang-orang asing berhazmat ini adalah mereka yang jasanya perlu kita tahu. Orang yang perlu membuat kita berempati bila mendengar cerita mereka yang menepiskan rindu pada anak kecil yang selalu menunggunya di rumah demi orang yang bahkan tidak mereka kenal sama sekali.

Bukankah banyak dari mereka yang tidak mampu pulang ke persinggahannya karena ketakutan orang-orang di sekitarnya? Takut bahwa mereka akan menularkan virus yang akan menjemput paksa manusia dalam hitungan hari. Sehingga pulanglah mereka ke rumah sakit dalam keadaan penat, sakit hati, dan tidak dimanusiakan.  

Mengapa sejarah tidak pernah memberitahu bahwa pandemi jenis apa saja dapat menunjukkan letak otak manusia? Bahwa beberapa manusia memiliki otak yang berada di pantat sehingga tiap kali duduk kapasitas otaknya akan tereduksi hingga setengahnya. Bahwa beberapa juga memiliki otak yang ada pada kaki, sehingga saat ia menendang bola, otaknya akan menjerit kesakitan karena tidak dilindungi tempurung yang keras sebagaimana di kepala.

Lalu saya siapa? Mengapa merasa berhak menuliskan ini? Sebaliknya, tidak seharusnya saya menjadi siapa-siapa hanya untuk membicarakan suatu hal. Saya, Anda, dia, siapapun, bisa membicarakan politik, ekonomi, isu ingkungan, matematika, tanpa mengenyam pendidikan formal khusus pada bidang itu. Semua isu harusnya menjadi lebih inklusif. Semua orang harusnya dapat membicarakannya tanpa harus takut ditanya, "Memang kamu siapa?"

Asal yang dibicarakan logis dan sesuai fakta, saya rasa tidak harus menjadi anak dokter untuk dapat berempati kepada tenaga medis. Tidak perlu menunggu sanak kerabat meninggal saat pandemi untuk menjadi kredibel untuk menyuarakan kalimat, "Gunakan maskermu!"

Apakah ini keadaan anomali sosial? Dimana masyarakat sedang tidak berjalan semestinya? Dimana yang patuh dengan peraturan malah dianggap aneh? Atau malah ini definisi sebenarnya dari New Normal yang berarti bahwa normalitas baru dan memiliki konsekuensi mengganti yang semula salah menjadi benar. Bukan karena secara resmi ada yang memutuskan demikian, tapi karena terlalu banyaknya para penyimpang yang secara gamblang dan sukarela mendeklarasikan diri sebagai deviant alias Sang Penyimpang.

Apakah bila pandemi terjadi pada era sebelum ada sosial media, masyarakat tidak saling tahu bahwa banyak dari mereka yang termasuk kategori Sang Penyimpang, oleh karena itu mereka tetap taat pada aturan? Bahwa mereka merasa bahwa jika mereka tidak patuh, mereka akan menjadi sebagian kecil dari kelompok masyarakat. Tetapi dengan teknologi, mereka bisa tahu bahwa di belahan Indonesia yang lain ada penyimpang seperti mereka juga. Maka terbentuklah kesepakatan tidak tertulis. Secara daring, mereka memiliki semacam Serikat Sang Penyimpang yang bahkan sesama anggotanya bisa jadi tidak saling mengenal tapi saling memberi dukungan. Haruskah saya bersimpati dengan persaudaraan solid dengan ikatan tingkat intelektual yang sama ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun