Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Ketundukan Mutlak pada Orangtua

8 Juli 2020   22:52 Diperbarui: 8 Juli 2020   22:58 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa kali saya nonton serial di televisi yang kurang lebih isinya mengenai anak yang durhaka pada orang tua. Muda, binal, lupa berterimakasih hampir selalu melekat pada karakter anak. Orang tua pun digambarkan sebagai pribadi yang taat kepada agama, mendoakan kebaikan bagi sang anak dan selalu sabar menghadapi kelakuan anak yang disetting menyebalkan.  

Serial semacam ini mengaburkan realita bahwa dalam kenyataan tidak ada orang yang benar-benar jahat atau benar-benar baik. Tidak ada sosok sesempurna Fitri yang mempertahankan suaminya yang mati-matian direbut oleh Miska si pelakor (Ada yang tahu sinetron Cinta Fitri?) 

Dunia ini juga membolehkan kita menjadi baik dengan mengadaptasi beberapa kejahatan yang menurut beberapa orang ditolerir. Contoh? Membenci guru di sekolah, pacaran sampai melewati norma budaya timur, membantah ucapan orang tua. 

Menariknya, hal-hal itu dapat diiringi dengan prestasi baik seseorang, image baik yang ditimbulkan olehnya kepada rekan sebaya. (Sementara rekannya tidak tahu bagaimana ia bersikap kepada orangtuanya) 

Lihat? Bukankah itu yang lebih akrab tersapa oleh mata kita? Bahwa baiknya seseorang tidak menjamin dia bebas dari unsur kejahatan yang didefinisikan sebagai ciri antagonis di sinetron. 

Jika ditarik dari argumen diatas, maka harusnya bukan hal aneh bila sanggahan atas omongan orang tua tidak lantas menjadikan anak itu menjadi tokoh antagonis dan si orang tua menjadi protagonis. 

Bila orang tua tidak mau membiayai kuliah sang anak dan anak membantah keinginan orang tua apa itu menjadikan anak sebagai teman Lusifer di neraka? Sementara orang tuanya tidak ingin menyekolahkan si anak untuk alasan yang tidak jelas. Padahal rumahnya terlalu bagus untuk dibilang tidak sanggup menyekolahkan anaknya.

Sebenarnya kalau mau berbicara dari sudut pandang agama, Islampun mengizinkan sanggahan atas orang tua ketika itu bertentangan dengan aturan agama yang berlaku. Saya tidak ingin menentang doktrin agama. Saya tahu itu baku dan sudah pokok. Rigid, kalau bahasa hukumnya.

Namun ada beberapa hal yang semestinya menjadi kesepakatan antara orang tua dan anak. Bahwasanya dialog yang terjadi, saran dari orang tua, bukanlah sesuatu yang tidak dapat disanggah. Sekarang bila si anak berpendidikan lebih tinggi dari orang tuanya, lantas orang tua memberikan saran yang sifatnya cenderung destruktif (Bisa dimaknai apa saja) apakah pantas bila anak diam saja atas nama perintah agama? 

Saya tidak bilang bahwa pendidikan yang lebih tinggi membuat kita pantas berujar begitu saja. Tetapi poinnya adalah si anak disekolahkan tinggi-tinggi hanya untuk tidak didengarkan suaranya? Bahkan oleh orang tuanya sendiri? Jika orang terdekat saja tidak mau mendengarkan sang anak, lalu bagaimana dengan orang lain?

Bukankah juga agama harus membuka keran kelogisan omongan yang dapat menuntun kepada hal yang kurang baik? Sebab saya yakin menghindari mudharat itu termasuk dalam keutamaan yang harus didahulukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun