Dalam dinamika perekonomian Indonesia, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran vital. Tidak hanya menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, UMKM juga menjadi penopang ekonomi nasional. Namun, salah satu tantangan utama bagi pelaku UMKM adalah memilih bentuk badan usaha yang tepat. Dari sekian banyak opsi, Commanditaire Vennootschap (CV) sering kali menjadi pilihan populer. CV dinilai sederhana dalam pendirian, tidak membutuhkan modal besar, dan memiliki dasar hukum yang diakui.
Fleksibilitas CV terletak pada struktur organisasinya. CV dibentuk oleh dua jenis sekutu, yakni sekutu aktif dan sekutu pasif. Sekutu aktif bertindak sebagai pengelola, sedangkan sekutu pasif hanya menyertakan modal tanpa campur tangan dalam operasional. Model ini memungkinkan kolaborasi antara pelaku usaha dan investor kecil. Bagi UMKM, pola ini menguntungkan karena mereka bisa mendapat tambahan modal tanpa kehilangan kendali penuh atas bisnis.
Selain itu, biaya pendirian CV lebih rendah dibandingkan Perseroan Terbatas (PT). Tidak ada syarat modal minimum, dan proses legalisasinya relatif sederhana. Bagi UMKM yang sering terkendala modal, hal ini menjadi pertimbangan penting. Tidak sedikit pelaku usaha menjadikan CV sebagai 'batu loncatan' sebelum bertransformasi ke PT. Salah satu contoh nyata adalah banyaknya perusahaan kuliner skala kecil di kota-kota besar yang berbentuk CV. Misalnya, sebuah CV yang bergerak di bidang katering di Yogyakarta awalnya hanya dikelola dua orang sekutu aktif dengan tambahan modal dari tiga sekutu pasif. Dalam lima tahun, usaha ini berkembang pesat, mampu membuka beberapa cabang, dan menyerap puluhan tenaga kerja. Namun, ketika pandemi COVID-19 melanda, perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Karena statusnya masih CV, sekutu aktif harus menanggung sebagian kerugian dengan harta pribadinya. Kasus ini menggambarkan bahwa meskipun CV bermanfaat sebagai sarana awal, risikonya tetap besar jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Dari sisi ekonomi, CV memberikan kontribusi signifikan dalam menumbuhkan UMKM. Bentuk usaha ini memudahkan masuknya modal ke sektor riil dan membuka lapangan kerja baru. Selain itu, CV mendukung pertumbuhan kewirausahaan karena hambatan administratifnya rendah. Namun, kelemahannya adalah keterbatasan akses CV terhadap pembiayaan formal dari perbankan, karena bank lebih menyukai PT yang berbadan hukum dengan kepastian hukum lebih kuat.
Secara sosial budaya, keberadaan CV mencerminkan pola gotong royong dan kepercayaan yang tinggi antarindividu. Sekutu pasif umumnya berasal dari kerabat, teman dekat, atau jaringan sosial yang percaya untuk menitipkan modal tanpa ikut campur dalam pengelolaan. Namun, budaya kekeluargaan ini juga bisa menjadi bumerang apabila tidak diimbangi dengan perjanjian yang jelas, karena perselisihan antarsekutu seringkali terjadi ketika bisnis menghadapi masalah. Kritik utama terhadap implementasi CV di Indonesia adalah lemahnya perlindungan hukum bagi sekutu aktif. Tidak adanya pemisahan tegas antara harta pribadi dan harta perusahaan membuat sekutu aktif sangat rentan. Selain itu, masih banyak CV yang hanya berdiri secara administratif tanpa penerapan tata kelola yang baik. Hal ini mengurangi kredibilitas CV di mata mitra bisnis besar maupun lembaga keuangan.
Solusi yang Dibutuhkan
Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang melekat pada CV, beberapa solusi perlu diterapkan secara nyata. Pertama, pemerintah harus menyediakan regulasi transisi yang mudah dan murah bagi UMKM untuk mengubah status badan usahanya dari CV menjadi PT ketika skala usaha mereka berkembang. Selama ini, prosedur konversi dianggap berbelit dan memakan biaya tinggi, sehingga banyak pengusaha kecil yang enggan melakukan perubahan status.
Kedua, edukasi hukum bagi pelaku UMKM perlu diperkuat. Masih banyak pengusaha yang kurang memahami risiko hukum menjadi sekutu aktif dalam CV, khususnya terkait tanggung jawab atas utang perusahaan. Dengan pemahaman yang baik, pengusaha bisa lebih bijak dalam mengantisipasi potensi permasalahan hukum di kemudian hari.
Ketiga, pemerintah bersama lembaga keuangan harus memperluas akses pembiayaan bagi CV yang sehat dan transparan. Selama ini, banyak bank yang ragu memberi pinjaman kepada CV karena tidak berbadan hukum. Jika CV yang memiliki tata kelola baik diberikan akses pembiayaan, maka peran CV dalam mendorong pertumbuhan ekonomi akan semakin kuat.
Terakhir, budaya hukum kontraktual perlu ditumbuhkan di kalangan pelaku usaha. Hubungan antarsekutu tidak seharusnya hanya didasarkan pada kepercayaan personal atau ikatan kekeluargaan, melainkan harus dituangkan dalam perjanjian tertulis yang sah secara hukum. Hal ini penting untuk menghindari konflik internal dan menjaga keberlangsungan usaha.
Kesimpulannya, CV merupakan pilihan strategis bagi UMKM karena menawarkan fleksibilitas, biaya pendirian yang murah, dan kemudahan dalam menggalang modal. Akan tetapi, kelemahan dalam aspek perlindungan hukum dan tata kelola harus menjadi perhatian serius. CV memang bisa menjadi pintu masuk bagi wirausahawan baru, tetapi keberlanjutan dan keamanan usaha tetap membutuhkan badan hukum yang lebih kuat. Oleh karena itu, keberadaan CV harus dipandang sebagai fase awal yang ideal, namun bukan tujuan akhir. Dengan regulasi yang lebih adaptif, edukasi hukum yang kuat, dan kemudahan transisi ke PT, CV dapat tetap relevan sekaligus aman dalam mendukung pertumbuhan UMKM Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI