Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemotongan Jam Belajar di Sekolah, Perlu Nggak Sih?

9 Desember 2019   21:20 Diperbarui: 9 Desember 2019   21:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bab 9 buku Outliers (dokumentasi pribadi)

Ada sebuah artikel menarik di jajaran artikel utama kompasiana siang ini. Artikel tersebut membahas wacana sekolah 3 hari seperti yang diusulkan Kak Seto, yang sedang ramai dibicarakan orang-orang di media. Aku setuju dengan Pak Liliek bahwa pengurangan waktu untuk sekolah anak malah bisa menjadi 'bencana' bila orangtua belum siap mengarahkan anak-anaknya dalam mengisi waktu luang. Anak-anak malah akan bisa terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat.

Dalam artikel tersebut, Pak Liliek mengemukakan juga klarifikasi dari Kak Seto. Menurutnya, sekolah 3 hari hanya satu bagian dari sistem sekolah secara keseluruhan. Seperti yang diterapkan di sekolah miliknya. Sisa harinya, bisa digunakan oleh anak-anak untuk bersekolah nonformal seperti khursus dan ikut bimbel.

Usul ini, kedengarannya menarik. Dan memang sangat bisa membantu anak-anak bila orangtua mau terlibat penuh dalam perkembangan anaknya. Minimal, orangtua bisa membiayai anaknya dalam kegiatan nonformal. Kalau tidak, apa yang akan mereka lakukan?

Ada sebuah kisah menarik dari buku Outliers bab 9 tentang jumlah jam pelajaran ini. Seorang sosiolog dari Johns Hopkins University bernama Karl Alexander meneliti kemajuan 650 siswa kelas 1 dari sistem sekolah negeri Baltimore. Anak-anak ini dibedakan berdasarkan kelas sosial ekonomi orangtuanya: tinggi, menengah, dan rendah.

Saat kelas satu, tidak ada perbedaan yang mencolok antara kelas sosial tinggi, menengah dan rendah. Mereka berada di titik mulai yang sama. Empat tahun kemudian, saat mereka dites lagi terdapat jurang pemisah yang lebar antara anak orang kaya dan orang miskin. Entah bagaimana, anak-anak orang miskin seperti gagal di sekolah.

Kemudian diketahui bahwa permasalahan yang membuat jurang antara anak orang kaya dan anak orang miskin bukan terjadi pada saat mereka bersekolah. Jurang itu terbentuk saat mereka tidak bersekolah atau sedang masa libur.

Fyi, di Amerika, anak-anak libur sekolah yang panjang saat musim panas. Anak-anak orang kaya mengikuti sekolah musim panas selama liburan panjangnya atau mengikuti berbagai program khursus. Belum lagi, buku-buku yang dibelikan oleh orangtuanya untuk dibaca.

Sedangkan anak-anak orang miskin hanya memiliki sebuah televisi di rumahnya. Mereka mungkin menikmati liburannya, mendapat teman baru, dan bermain sepuasnya. Namun kegiatan itu tidak bisa meningkatkan kemampuan membaca dan matematikanya. Dengan kata lain, anak-anak orang miskin tidak memiliki jam belajar yang cukup untuk bisa bersaing dengan anak-anak orang kaya.

Seperti yang dikhawatirkan oleh Pak Liliek, apakah orangtua akan memberi cukup perhatian terkait kegiatan anak-anaknya bila mereka hanya sekolah 3 hari seminggu. Dalam konteks di lingkungan tempat tinggalku sendiri, aku tidak akan membicarakan anak-anak orang kaya dan orang miskin.

Nyatanya, orangtua yang sosial ekonominya tinggi bisa juga abai pada pendidikan anak-anaknya. Bisa saja selama liburan tersebut anak-anak orang kaya diam menatap layar kaca seperti gawai dan orangtuanya sibuk bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun