Setelah sekitar 20 tahun menanti, akhirnya kuliner Indonesia hadir kembali di Stuttgart, ibu kota negara bagian Baden-Wuerttemberg, Jerman.
Minggu lalu, di suatu siang yang tidak terlalu dingin, saat suhu menunjukkan 3°C, aku melangkahkan kakiku menuju bus stop, menanti bus yang akan membawaku ke stasiun kereta kecil di kota tetangga. Dari sana, aku akan menaiki kereta ke pusat kota Stuttgart.
Matahari menyembul sedikit dari balik mega putih, bunga-bunga kecil di bulan Februari, Schneeglöchen dan Krokus di halaman rumah sudah berkuncup bahkan ada yang sudah setengah merekah.Â
Mereka terlihat cantik bagai gadis berusia 13 tahun yang akan meninggalkan masa kanak-kanak dan menuju masa remaja.
Aku ke kota metropol Baden-Wuerttemberg di hari itu karena punya janji makan siang dengan Mbak Hennie Oberst, Kompasianer peraih Kompasiana Award Citizen Journalism 2023. Kami akan ke restoran Indonesia yang belum lama ini dibuka.Â
Dulu pernah ada restoran Indonesia di Stuttgart, tapi ditutup sekitar awal tahun 2000-an.Â
Ini berarti sudah 20 tahun lebih diaspora di kota ini tidak lagi menikmati cita-rasa hidangan nusantara sambil duduk-duduk santai di restoran.
Kota Stuttgart memang sangat mahal untuk tinggal apalagi untuk berbisnis. Mungkinkah itu alasannya?Â
Biaya sewa ruang saja mencapai angka yang sangat fantastis, belum ditambah biaya ini-itu seperti air dan listrik sehingga dibutuhkan keberanian untuk memulai usaha.Â