Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Kedisiplinan di Dalam Masyarakat Eropa

9 Juni 2010   06:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu pengamatan mendalam akan detail, dan pada waktu yang sama munculnya kesadaran politis akan berbagai hal kecil-kecil mendetail macam itu – yang sama-sama dapat dimanfaatkan dan dikendalikan oleh manusia, muncul ke muka seiring dengan ditemukannya serangkaian teknik, yang terdiri dari berbagai metode dan pengetahuan, deskripsi, rancangan dan data. Tidak diragukan lagi, melalui hal-hal sederhana macam ini, manusia dalam humanism modern dilahirkan.

Foucault, 1997, hlm. 141.

****

Mohon maaf bila penerjemahan dari konsep yang ditawarkan oleh Foucault yang mencoba merepresentasikan gagasan tentang hakekat kemanusiaan yang memasuki abad modernitas terasa sangat membingungkan. Saya sendiri mengalami proses “jungkir-balik” untuk memahami buku karangan Foucault berjudul Discipline and Punish: the Birth of Prison. Saduran pendek di atas hanya untuk menggambarkan bagaimana kompleksitas pemikiran Foucault yang sangat rumit dan mendalam sering mengganggu pikiran dan tidak jarang membuat tidak nyenyak tidur.

Terlepas dari jibaku dan jungkir balik tersebut, baiklah saya mencoba membagikan pemahaman yang bisa saya pahami dalam konteks yang sesederhana mungkin. Kebetulan, saya berusaha keras untuk belajar menerjemahkan konsep yang rumit dengan cara sesederhana mungkin, karena apa artinya kita memakai kata-kata yang rumit dan tidak mudah diakses oleh sesama manusia?

Foucault menyebut bahwa Eropa pada abad 19 ditandai dengan rasionalitas teknis. Istilah ini merujuk pada bagaimana modernisme dibentuk, bukan semata-mata oleh grand design dan pemikiran-pemikiran agung dari para filsof, tetapi oleh serangkaian pengamatan detail, yang diikuti dengan pemahaman teknis terkait dengan bagaimana suatu hal beroperasi dan dijalankan, serta keterampilan macam apa yang mesti dilatihkan.

Dalam tingkat yang paling teknis, rasionalitas teknis ini Nampak dalam rekayasa teknis (technical engineering) seperti yang terwujud dalam pengembangan mesin-mesin industri produksi massal. Mesin dibuat berdasarkan kalkulasi matematis, penguasaan ilmu metalurgi, dan penguasaan ilmu mekanika. Mesin-mesin dirancang, dikembangkan, diujicobakan, dan diproduksi sesuai dengan model-model yang teruji dan pembaharuan-pembaharuan yang tercatat rapi dan dipahami oleh sesama ahli.

Dalam konteks ini, tidak ada rahasia lagi. Tidak ada hal-hal yang mistik karena berbagai cara kerja, kinerja, dan mekanisme teknis lebih merujuk pada hal-hal teknis yang bisa diamati, diperhitungkan, dikalkulasi, dan diukur secara cermat. Keahlian ditentukan oleh serangkaian latihan dan praktek yang berjalan dalam waktu yang tidak pendek.

Namun, peradaban manusia terdiri dari unsur-unsur lembut: darah, daging, tulang, otot, dan otak serta interaksi antar manusia yang tersusun secara hierarkis dalam pola struktural kemasyarakatan. Pola relasi dalam perilaku dan interaksi antar manusia tidak seteknis dengan sistem mekanika mesin. Namun, Foucault melihat bahwa analogi mekanika dengan model rasionalitas teknisnya tersebut sangat representatif untuk menggambarkan rekayasa sosio-kultural politik yang membentuk peradaban itu sendiri.

Secara khusus, Foucault melihat bahwa salah satu aspek mendasar yang membedakan antara masyarakat Eropa pada abad 19 adalah terciptanya kedisiplinan dalam diri masyarakat. Kedisiplinan adalah sebuah temuan hasil rekayasi sosio-kultural politik yang menyiapkan masyarakat Eropa untuk memasuki tahap modernisme selanjutnya. Dengan berbagai macam strategi, aturan, kebijakan, dan batasan-batasan, orang dibuat taat dan patuh (docile).

Konsep kedisiplinan didefinisikan sebagai sebuah bentuk penciptaan monitor-monitor pengendali dalam diri yang akan menggerakkan masing-masing orang untuk mengikuti alur berpikir dan berperilaku yang dapat dikendalikan secara sistematis dan bersama-sama. Ketika dominasi kekuasaan raja (sovereign power) meluruh, digantikanlah dominasi kekuasaan kesiplinan (discipline power). Kekuasaan disiplin berbeda dengan kekuasaan raja karena target utama adalah memunculkannya kesadaran dari dalam diri tentang hakekat “kepatuhan” pada aturan main. Ini berartibahwa proses internalisasi tentang nilai-nilai yang layak diperjuangkan menjadi ciri khas dari kekuasaan disiplin macam ini.

Nilai-nilai yang ditanamkan (dengan harapan akan terinternalisasi) beragam, di antaranya adalah: absolutisme terhadap keteraturan, rasa kehormatan, harga diri, kebersamaan dengan orang-orang sekitar, dan kesejahteraan. Berperilaku menyimpang dengan melanggar norma dinilai tidak saja melanggar atau melukai norma masyarakat, tetapi juga merupakan bentuk penghinaan akan harga diri kemanusiaan.

Melanggar keteraturan sama artinya dengan melompati kepercayaan atas kesepakatan untuk saling menjaga, menciptakan kedamaian, mempertahankan kenyamanan dan menciptakan kesejahteraan. Secara khusus, Foucault mendefinisikan kedisiplinan bukan dalam pengertian perbudaan, pelayanan, taat pada penguasa vassal (feodalisme), dan asketisme.

Mengapa membuka wacana kedisiplinan macam ini sangat penting? Memahami epistemology kedisiplinan – yaitu bagaimana nurani masyarakat umum dibentuk, dipelihara, dan sering dieksploitasi demi tujuan-tujuan tertentu – membantu kita mengidentifikasi hakekat dan makna kebebasan dalam kehidupan bersama. Kebebasan macam apakah yang kita anggap bisa diterima di dalam suatu masyarakat? Kebebasan yang bertanggung jawab? Apa itu artinya? Apakah mencerca penguasa melalui ruang-ruang publik sama artinya dengan memanfaatkan kebebasan dengan cara yang bisa diterima?

Pemahaman akan hakekat kedisiplinan macam ini membantu kita untuk lebih memiliki kesadaran kritis yang akan membekali kita untuk menghadapi upaya apapun yang barangkali dilakukan atas dalih-dalih kepentingan bersama, tetapi sebenarnya ditargetkan untuk mengusung agenda-agenda politik tertentu dan membodohi. Kita juga menjadi lebih peka terhadap gerakan-gerakan dari partai-partai politik tertentu yang memainkan berbagai macam cara untuk menarik hati massa melalui strategi-strategi yang khas mereka.

**Catatan kuliah sejarah pendidikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun