Moza. Kucingku satu-satunya itu sangatlah unik. Misal ada orang diskusi, ia ikut nimbrung. Berjam-jam pun, ia terus menyimak obrolan manusia. Nampak sangat konsentrasi ketika kudapati ia menatap lekat sang pembicara utama.
Di suatu hari, aku bersama ketiga sahabatku tengah membicarakan tentang buku yang habis kami baca. Tak lupa, buku-buku itu kami bawa, lalu kami ceritakan, kami refleksikan nilai apa yang ada di dalam buku tersebut.
Langkah gontai Moza, hadir dari balik tembok dapur. Penuh irama, ia mengikuti alur angin. Tetiba, di antara kerumunan kami, ia duduk dengan tenang. Matanya sesekali mencuri sekitar ruang diskusi kecil itu. Kami tertawa kecil melihat tingkah aneh dan lucu unik ini.
Satu-satunya kucing yang suka mendengar diskusi ya, Moza itu. Sebelum itu, aku pernah memiliki kucing. Tapi kucing-kucing yang aku pelihara itu tak seperti Moza.
Pikirku, andai Moza adalah manusia. Pastinya, ia akan menjadi pendengar yang setia dan baik. Bahkan tekunnya, setiap kali diskusi ia pasti membawa catatan.
Sesekali, di tengah kami debat, Moza meraung. Begitu dilihat ia menduduk atau memalingkan pandangan. Sebagai manusia, kami mulai nakal membaca Moza dalam sudut pandang kami. Ya, Moza mungkin ikut berpendapat. Sayangnya, ketika apa yang diutarakan itu kami pahami, ia justru diam. Malu mungkin.
"Aku lupa, manusia tak memahami bahasaku," pikir Moza.
Tak lama, begitu tajam mata kami menunggu Moza berpendapat ulang, justru ia beranjak dengan langkah gontai. Lalu meninggalkan ruang diskusi.
Lucunya, di tengah jalannya, ia meninggalkan sisa sorot matanya yang tenang. Dan kami tertawa melihat Moza demikian itu.