Rasanya sangat sulit untuk menulis ulang sebuah ungkapan dalam suatu pembicaraan yang sudah beberapa saat berlalu. Tulisan perdana saya ini sebenarnya pernah saya buat 'draft'-nya di awal bulan Juli 2010. Tapi entah karena saya lalai dalam menyimpannya, tulisan perdana saya tidak kunjung me-'maya'. [caption id="attachment_253136" align="aligncenter" width="219" caption="Siapa Di Atas?"][/caption]
[Taken from Flickr : NERVZ]Â
Di bawah sorot panas matahari yang sudah condong ke barat, sore itu di awal bulan Juli 2010 sehabis menunaikan 'tugas negara' kami bertiga berjalan bersama menuju tempat parkiran. Satu hari itu kami banyak mengunjingkan 'orang', kalau boleh dibilang demikian, dari pada banyak menyelesaikan pekerjaan kami. "Kok bisa ya dia menentang keputusan perusahaan ? Sedangkan saya, yang 'manut-manut' saja dan diposisikan rugi oleh perusahaan tidak punya posisi tawar!". Saya sejenak teperangah dengan ungkapan teman di sebalah saya. Sambil berjalan saya putar memori saya tentang perjalanan karier dia, siapa dia, dan seperti apa dia sekarang ini. Setelah saya angkat muka saya, satu kalimat saya tawarkan kepadanya, "Itu bisa, karena dia sudah 'dekat-dekat dengan yang di atas'". Mendengar kalimat yang saya tuturkan, raut muka teman saya semakin memancarkan aura kemarahan, dan kegeraman. Buru-buru saya lengkapi kalimat saya, "Bukankah kita memang seharusnya selalu 'dekat-dekat dengan yang di atas'. Kita memposisikan yang di atas lebih mulia, kita memujinya. Banyak hal yang dilakukan adalah yang sesuai dengan perintahnya, kehendaknya. Dan kita ingin sebenar-benarnya baik dihadapannya bukan?". Saya tidak bermaksud menyamakan 'Dia' dengan 'dia', tetapi saya mengerti bahwa setidaknya dia membutuhkan saya untuk mendekat dengan 'dia yang di atas'. Kalimat itu menjadi penjelasan saya kepada teman saya sebagai pengobat kekecewaan, namun bukan maksud saya menggurui teman saya atau memposisikan saya lebih baik daripada teman saya. Rasanya memang benar kalau sedari awal kedekatan dengan yang di atas dibangun dengan sebaik-baiknya, dengan penuh ikhlas tanpa pamrih. Karena buah semua ketulusikhlasan itu adalah perhatian dan kasih sayang 'dari yang di atas' tanpa kita tahu kapan datangnya. Langkah kaki kami akhirnya tertambat di pintu parkiran dan kami mulai melambaikan tangan menuju jalan pulang kami masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H