Posisi Indonesia yang terus digeser oleh Vietnam dan India sebagai eksportir lada tak boleh terus diabaikan. Untuk menyikapi hal tersebut, perlu dilakukan terobosan dan langkah nyata dalam mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai produsen dan eksportir lada terbesar dunia. Bagaimana caranya? Untuk menjawab itu, mari kita gunakan rumus ABG. Yakni ;
Akademisi
Peran serta akademisi didalam pengembalian kejayaan lada sangat diperlukan. Misalkan, memberikan pengetahuan terhadap petani dalam proses cara memilih bibit yang ungggul, menanam, merawat hingga proses penjemuran. Hal ini menjadi satu rentetan guna menghasilkan lada terbaik. Pelatihan bagi petani oleh para akademisi tentu tidak bisa sendiri. Diperlukan peran serta pemerintah dan juga swasta.
Para petani lada dan lainnya diperlukan ikut meng-upgrade diri dengan perkembangan yang ada. Hal ini perlu dilakukan. Apalagi saat ini, negara penghasil lada seperti Vietnam memanfaatkan kemajuan teknologi dalam prosesnya. Jangan ada istilah kami lah terti, jadi dak usah diajar (kami sudah bisa, jadi jangan diajari-red,).
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kepulauan Babel Juraidi mengakui, petani di Babel umumnya masih menggunakan cara tradisional dan manual dalam mengembangkan usaha perkebunannya. Sehingga, banyak lada yang terkontaminasi dengan bakteri salmonella dan e-coli. Ini, bakal berpengaruh kepada harga jual. Nah, untuk mendapatkan lada yang tidak terkontaminasi tentu diperlukan pelatihan dan pengetahuan bagi para petani. Baik saat perendaman hingga penjemuran.
Contoh lain adalah masih banyak petani di Babel memanfaatan tajar (junjung) mati bagi lada. Padahal, memakai tajar hidup memiliki keuntungan. Antara lain mudah didapat, ditumbuhkan dan harganya murah. Selain itu biomasa hasil pangkasan, dan daun-daun yang berguguran dapat digunakan untuk pakan ternak, mulsa dan pupuk/kompos.Â
Tajar hidup juga bisa digunakan sebagai peneduh sekaligus bahan pupuk hijau perakaran. Gliriside berada di bawah, sedangkan perakaran lada berada di atas, sehingga jika tanaman gliriside yang difungsikan untuk tajar hidup, tidak saling menggangu kebutuhan pemenuhan unsur hara.
Daun gliriside yang jatuh ke tanah bisa menjadi pupuk hayati yang bagus bagi tanaman lada. Sebagai pupuk hayati, daun gliriside mempunyai kandungan auxin (hormon tumbuh) yang tinggi, dan tajar hidup sebagai penyangga tanaman lada. Sehingga bisa menjamin lada dari hempasan angin dan melindungi dari terik matahari yang terlalu berlebihan.
Di Babel, dari data BPTP Balitbangtan Kepulauan Bangka Belitung, beberapa lokasi tanaman lada yang sudah menggunakan tajar hidup adalah Kebun Percobaan (KP) Petaling. Juga, petani Desa Puput, Kecamatan Simpang Katis, Bangka Tengah yang menggunakan Kapuk Randu sebagai tiang panjat hidup untuk tanaman lada.Â
Penggunaan Kapuk Randu dapat membantu pertumbuhan tanaman lada hingga ketinggian lebih dari lima meter. Selain itu, tiang panjat ini memiliki umur panen lada yang panjang hingga lima belas tahun jika dibandingkan dengan menggunakan tajar mati yang hanya bertahan tiga hingga lima tahun saja. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini tentu saja perlu ditularkan dan diperkenalkan kepada para petani oleh para akademisi.
BisnismanÂ