Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aku adalah Generasi yang Cepat Bosan?

1 Juni 2021   00:05 Diperbarui: 1 Juni 2021   00:31 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto-dokumen pribadi

Menyisir jalan hidup anak-anak milenial saat ini, rasanya memang tak lagi bisa terkejar. Pola pikir saya sebagai orang tua, tak lagi mampu mengejar apa yang mereka pikirkan sekarang. Bahkan paradigma masa lalu yang saya genggam erat, sekarang tak lagi mereka kenal. Sedih memang. Tetapi inilah hidup yang terkemas dalam terminologi 'Kenyataan hidup'.

Dalam masa Pandemi Covid-19 ini, praksis anak saya selama setahun ini, hanya berada di Kamar melakukan Daring atawa kuliah on-line. Kejenuhan dan kebosanan jelas menyelimuti benak dan hatinya, sehingga mucul pikiran-pikiran ekstrem untuk bisa keluar dari kejenuhan dan kebosanan tersebut. Dan pernyataan Descartes-pun muncul sebagai, "Aku ada, maka aku bosan."

Descartes adalah seorang pemikir Prancis, yang terkenal dengan pandangannya : "Aku berpikir, maka aku ada." Banyak penjelasan tentang pandangan tersebut dan banyak pula variasi diberikan terhadapnya. Pernyataan "Aku ada, maka aku bosan" merupakan penyakit anak-anak sekarang, yang tidak sabaran ingin cepat lulus kuliah, ingin cepat sukses, ingin cepat populer, ingin cepat untung, ingin cepat kaya, dan ingin cepat-cepat ... lainnya.  

Kita akan mudah sekali terjerumus dengan rasa bosan ini. Pada saat kita sibuk, maka kita bosan dengan kesibukan. Dan, ketika kita tak ada pekerjaan, maka kita juga akan merasa bosan dengan ketiadaan pekerjaan tersebut. Hakekatnya, kita akan selalu berselimut kebosanan dimanapun, kapanpun dan sedang bagaimanapun ?!! Kebosanan adalah penyakit lintas usia, dan bahkan lintas kelas sosial.

Ada seorang teman yang merasa bosan dengan kemiskinan, karena sejak kecil hidup pas-pasan. Ia menjadi iri melihat orang-orang di Mall berbelanja barang-barang mewah. Ada juga seorang teman merasa bosan dengan kekayaannya, yang harusnya dia sangat beruntung, karena lahir dari keluarga kaya. Cukup dengan bunga deposito, dia bisa hidup, tanpa harus bekerja. Namun, ironisnya mereka juga dilanda kebosanan : bosan karena sudah kaya ?!! Sehingga apalagi yang harus ia cari di dunia ini ?!!.

Banyak pakar mengingatkan, bahwa Kebosanan terjadi, karena ego kita menguat, yakni identitas tentang "saya". Karena di dalam ego terkandung ingatan, trauma dan harapan, yang selalu mengotori kejernihan berpikir kita saat ini. Akibatnya, kita tak mampu secara jernih melihat kondisi saat ini, sehingga kita akan selalu dikepung dengan rasa bosan.

Sebenarnya jika kita menyadarinya, bahwa kebosanan adalah sumber kreativitas. Ketika rutinitas menghujam tajam maka pikiran kita lantas terbang ke berbagai arah. Disitulah sering kita temukan ide-ide baru yang sebelumnya tak pernah kita pikirkan. Tetapi, secara umum, kebosanan adalah musuh kehidupan. Kita semua pasti ingin menghindarinya, bahkan banyak yang mengatakan bahwa kebosanan itu adalah kematian yang menyelinap di sela-sela kehidupan. Kita seperti mati dalam hidup, ketika kita merasa bosan. Swweeerrr ... ?!!

Seorang pemikir Jerman, Martin Doehlmann, mencoba membedakan dua bentuk kebosanan ini, yakni : Kebosanan situasional dan Kebosanan Eksistensial. Kebosanan situasional ini lahir dari rutinitas. Sementara kebosanan eksistensial adalah kecemasan yang dialami setiap orang, akibat ketidakpastian hidup. Ketidakpastian dari segalanya yang membuat hidup kita terasa hampa dan tak bermakna, apapun yang kita lakukan. Kebosanan ini berakar jauh di dalam hati kita sendiri.

Kemudian Andrew Anthony, dalam tulisannya, juga melukiskan kebosanan sebagai perasaan tercekik. Kita seperti terjebak dalam penjara yang mencekik. Perasaan depresif dan hampa datang menyerang. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lars Svendsen, pemikir Norwegia, dalam bukunya A Philosophy of Boredom. Menurut Svendsen, bahwa kebosanan adalah perasaan terjebak. Kita akan merasa terjebak pada satu keadaan yang tidak kita kehendaki atawa tidak kita inginkan. Bahkan, kita bisa juga merasa terjebak, justru karena dunia ini yang sangat luas, dan kita tak memperoleh tempat yang layak berkreasi di situ.

Pada akhirnya, kita semua dituntut untuk terus belajar, belajar dan belajar untuk melampaui kebosanan ini. Mungkin, pandangan Svenden ini bisa memberikan perspektif atawa sudut pandang yang cukup bijak, agar kita bisa menjadi manusia dewasa, dan kita mau-tidak-mau, suka-tidak-suka, harus mampu menerima keadaan apa adanya. Kita juga perlu menyadari, bahwa hidup tidak selamanya penuh dengan sensasi. Ada saatnya, dimana hidup terasa kering dan hampa. Ada saatnya, semua terasa jenuh dan amat membosankan. Kondisi ini bukan berarti, bahwa hidup tidak bermakna, dan tak layak dijalani. Mungkin, inilah ujian mental kedewasaan kita agar kita bisa terus naik kelas ?!! Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 31 Mei 2021.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun