Sebuah Catatan Panjang: Apa Kita Akan Menggunakan Masker Selamanya?
Kebijakan pak Jokowi yang baru tentu saja merupakan deklarasi tidak langsung terhadap masyarakat Indonesia tentang kemerdekaan kita dari pandemi. Pandemi yang disebabkan Covid-19 tentu telah kita ketahui sebagai pemborgolan mobilitas umat manusia di seluruh dunia, memaksa setiap aspek mengalami disrupsi secara besar-besaran, baik itu secara ekonomi, sosial, maupun pendidikan.
Telah kita rasakan secara nyata mengenai disrupsi ini, seperti dunia pendidikan yang tidak lagi berbasis tatap muka secara real melainkan virtual, perubahan sosial dari yang lebih dekat kepada sesama menjadi lebih dekat dengan tekhnologi, dan tentu saja sebuah dunia baru yang kita sebut sebagai Metaverse.
Dan kali ini adalah momentum yang tepat, suatu perayaan yang hakiki sebab kita telah melepas topeng yang melekat di mulut dan hidung kita selama dua tahun terakhir, kini kita bisa merasakan udara tanpa ada filtrasi apapun, kini kita bisa bernapas lega tanpa intaian virus yang melekat pada molekul udara, kita damai dan sentosa, kita sejahtera, hematnya, kita telah merdeka!
Namun dapatkah pernyataan tersebut kita jadikan dalih? Benarkah kita telah merdeka dari semua virus tersebut? Atau mungkin semua itu hanya ilusi belaka sebab Corona hanyalah awal mula semua masalah yang akan terjadi, sebab hasil dari disrupsi tersebut sebenarnya bukan hanya merubah hal-hal eksternal dalam diri kita, melainkan merubah diri kita sendiri.
Kita telah melihat dengan kepala kita sendiri bagaimana konsumisme kita meningkat drastis akibat pandemi, memakan satu makanan ke makanan lain, mencoba produk yang satu ke produk yang lain, berharap rasa nafsu kita terpuaskan namun nyatanya nafsu itu semakin mengendalikan kita dan menjadikan kita bagai siluman.
Memang sebagai kaum millenial kita mengatakan tidak kepada polusi udara, juga mengatakan tidak kepada maraknya industri yang semakin membuat udara kita hancur. Namun dalam hal ini kita benar-benar lupa bahwasanya kita adalah industri itu sendiri, dan kita sama busuknya dengan industri tersebut.
Mari kita terima fakta bagaimana proses konsumsi kita telah menjadikan kita industri yang berjalan, kita memakan makanan dan membuang sampah tersebut dimana-mana, kemudian produk yang hanya bisa kita hasilkan hanyalah tahi, suatu benda kuning yang hanya berakhir di kloset dengan bilasan air bersih.
Dan jikapun bermanfaat, tahi itu hanya akan menjadi santapan para makhluk tanah yang mengambilnya tanpa bayaran rupiah. Yang tentu saja akan mencari industri berjalan lainnya untuk terus hidup di Bumi.
Namun itu adalah sifat manusia, dan kita tidak akan pernah bisa merubahnya. Pun manusia tentu akan mengatakan HAM ketika kita mengingatkan mereka sehingga ucapan kita hanyalah angin lalu. Akan tetapi tentu Bumi adalah rumah kita, dan aturan-aturan kepedulian harus ditegakkan guna kita tetap hidup, agar suatu masa kita masih bisa bernapas tanpa oksigen buatan mesin dan kita harus membayarnya.