Mohon tunggu...
Maya Siallagan
Maya Siallagan Mohon Tunggu... Lainnya - Maya Siallagan

Live for better future.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku Mengajariku bahwa Anak adalah Harta Nomor Satu

20 November 2020   22:40 Diperbarui: 20 November 2020   22:58 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedikit berbagi kisah mengenai Ibuku, seorang yang biasa kusebut mamak.

Umurku saat ini masih 17 tahun. Usia yang masih bisa terbilang remaja. Aku tinggal dengan bapak, mamak, dan adik laki-lakiku. Mamak dan bapakku membuka warung di depan rumah kami, sebagai pencarian utama dan penghasilan keluarga kami.

Mamakku bukan berasal dari keluarga yang berpendidikan apalagi berada. Mamak dibesarkan di kampung kecil yang sekarang keadaannya sudah kosong dan sepi. Mamak hanya tamat SD dan langsung pergi merantau ke kota untuk mengadu nasib. Aku selalu kagum mendengar cerita beliau. Aku salut dan bangga mengetahui perjuangan hidup dari orang tua yang telah melahirkanku. 

Mamak adalah sosok yang paling penting dalam hidupku. Mamak selalu mengajarkan padaku bahwa hidupku ke depan tidak boleh sama seperti dirinya.  Minimal jika mamak punya warung, aku harus bisa buka restoran atau buka rumah makan. Jangan sampai aku sederajat bahkan dibawah keadaan orang tua.

Mengapa harus begitu? tanyaku, beliau menjawab anak adalah harta yang paling berharga di dunia ini. Orang tua bertanggung jawab untuk menghantarkan anaknya ke jenjang kehidupan yang lebih baik. Anakku harus punya kehidupan yang baik, harus bisa sarjana, harus bisa jadi orang sukses, ucap beliau.

Mamak tidak hanya mengatakan omong kosong. Perbuatan mamak membuktikan semuanya. Meskipun mamak lulusan SD, mamak membekaliku makanan dan minuman sehat. Mamak memerhatikan kebutuhan sekolahku. Mamak menyiapkan buku, peralatan sekolah, apapun yang bisa mamak persiapkan pasti diusahakan.

Hanya satu yang tidak bisa mamak lakukan, yaitu mengajariku dan membantuku mengerjakan tugas sekolah. Mamak sama sekali tidak mengerti pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah. Mamak tidak tahu apa-apa sama sekali.

Aku sadar mamak telah berusaha dan kini saatnya aku yang berjuang. Sejak SD aku selalu mendapat tiga besar setiap pergantian semester. Mamak bangga sekali padaku saat itu, katanya aku hebat bisa belajar sendiri. SMP hingga SMA pun masih begitu, meskipun sesekali aku masuk sepuluh besar saja.

Aku ingat sekali, sejak dahulu aku tidak pernah merayakan hari ulang tahun dengan kue dan lilin merah. Mamak juga kadang lupa hari ulang tahunku. Aku pun menjadi terbiasa. Hingga saat aku menginjak usia 17 tahun di malam ulang tahunku, tiba-tiba mamak mengajakku ke minimarket. Aku ikut saja dan berbelanja dengan mamak. Aku beli es, makanan ringan, susu.

Saat di jalan mamak mengatakan "hanya inilah yang bisa mamak kasih, gapapa lah ya enggak ada kue. Semoga lah anakku ini nanti sukses supaya nanti bisa membelikan anak-anaknya kue ulang tahun". Pikiranku kosong seketika. Ucapan mamak membuatku merasa sedih sekaligus sadar. Mamak berharap lagi agar nasibku tidak boleh sama dengan mamak.

Sekarang mamak semakin tua dan mudah lelah. Mamak tidak lagi bisa membelikan aku buku-buku bagus. Mamak bahkan tidak sanggup lagi membayar uang sekolahku. Ijazah SMA milikku masih ada di sekolah dan belum ditebus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun