Mohon tunggu...
Andri Mulyawan
Andri Mulyawan Mohon Tunggu... Staff Administrasi Proyek -

Mahasiswa Ilmu Sosial Bergerak di Ilmu Politik dan Gender. Penyuka Fotography, Nulis Opini, Tiduran dan Makan, Kritis namun Membangun, dan Tukang Julid.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Populer sebagai Penyebab Terdekat Body Shaming pada Perempuan.

26 Agustus 2018   20:47 Diperbarui: 26 Agustus 2018   21:08 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Globalisasi merupakan salah satu indikator didalam bagaimana sebuah budaya bisa begeser nilai atau cara pandang kita bahkan kebiasaan kita. Globalisasi adalah salah satu bentuk proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Globalisasi dengan menggeser aspek kebudayaan yang sudah ada kepada aspek yang lain ternyata menghasilkan budaya populer yang sangat dekat dengan masyarakat.

Grayson (2009) dalam bukunya Pop Goes IR? Researching the Pop-Culture-World Politics Continuum  menyebutkan bahwa, budaya populer merasuk kedalam kehidupan sehari-hari masyarakat umum. Budaya populer dianggap sebagai jeda daripada kehidupan sehari-hari yang membosankan dimana realitas kehidupan, realitas politik, masalah kehidupan sehari-hari secara tradisional terjadi. Bahkan budaya populer mempunyai kekuatan politik yang baik justru karena dia sangat terkait erat dengan konsumsi masyarakat.

Kekuatan budaya populer adalah merubah sebuah budaya dan menerapkan standarisasi terhadap sesuatu. Budaya Populer karena dianggap dekat dengan masyarakat karena sebagai jeda dan relaksasi masyarakat akibat penatnya realitas kehidupan dan politik. Sehingga, budaya populer dianggap merasuk kedalam nadi masyarakat dengan baik. Sifat budaya populer adalah menyebar kedalam masyarakat secara menyeluruh, baik anak-anak maupun dewasa.

Lalu bagaimana ketika sesuatu yang dianggap dekat dengan masyarakat, menjadi salah satu penyebab kekerasan non-fisik yang diantaranya kekerasan verbal yang bisa membuat depresi dan sebagai penyebab opresi?. Saya akan gambarkan satu contoh kasus. Misalnya adalah ketika Boneka Barbie dan Ken booming di seluruh dunia akibat globalisasi.

Perusahaan Mattel,Inc di Amerika yang merupakan pencipta Barbie tidak akan berpikir bahwa dengan menciptakan boneka perempuan itu akan mengubah  pola dan perspektif manusia tentang sesuatu. Ruth Handler hanya menciptakan boneka Barbie sebagai hiburan untuk anaknya dan anak-anak di seluruh dunia. Sehingga, menimbulkan daya pikir dan kreatifitas dalam hal berdandan, berpakaian, serta mempercantik diri.

Masalahnya, Barbie sendiri ternyata mengubah pandangan hampir sebagian besar masyarakat terutama wanita dan pria. Barbie ternyata mendekonstruksi pemikiran masyarakat tentang standarisasi cantik itu sendiri. Cantik digambarkan oleh Barbie harus berwajah mulus dan putih, berbadan langsing, berambut panjang, dan lain-lainya.

Standard makna cantik itu sendiri setelah barbie lahir pada tahun 1959 terus tertanam kedalam pikiran-pikiran manusia terutama anak-anak perempuan. anak-anak perempuan akan mudah terdekonstruksi pemahamannya karena anak-anak akan lebih mudah berimajinasi dibanding dengan orang dewasa. Standarisasi cantik itu masuk dan merasuk ke nadi anak-anak perempuan bahkan anak laki-laki dan perspektif cantik harus seperti barbie terus tertanam sangat lama sampai sekarang.

Kekuatan budaya populer yang mendekonstruk pemikiran masyarakat dan menggeser pandangan seseorang terhadap sesuatu. Terlihat di kasus ini dimana Barbie menanamkan standarisasi cantik yang awalnya tidak terdefinisi menjadi terdefinisi. Namun sayangnya, makna cantik yang ditanamkan oleh Barbie itu sendiri ternyata mempunyai salah satu yang dianggap merugikan. Barbie ternyata menanamkan api kecil penyebab opresi akibat simbologi.

Masyarakat yang menganggap cantik harus seperti Barbie. Ternyata menyebabkan hampir sebagian besar perempuan yang tidak seperti Barbie terdiskriminasi, mengalami beberapa kekerasan verbal yang menyakitkan, dan lain-lain yang dianggap mengguncang psikologis. Semisal ketika Barbie menerapkan kata cantik harus langsing, perempuan-perempuan yang tidak langsing akan mengalami Body Shaming. Atau lebih tepatnya mengalami penghinaan terhadap fisik.

Budaya Populer walaupun sangat dekat dengan masyarakat, juga ternyata bisa menyakiti sebagian masyarakat lain seperti mawar yang indah tapi berduri. Budaya populer yang dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat mengisi waktu jeda masyarakat dari penatnya realitas kehidupan, ternyata bisa menyebabkan manusia depresi, terdiskriminasi, atau teropresi.

Feminisme Post-Modern  menerjemahkan bahwa simbologi inilah yang merugikan bagi beberapa bahkan sebagian masyarakat pada umumnya yang tidak memiliki standard seperti cantiknya ala Barbie. Feminisme Post-Modern baik Deridda ataupun Helena Cixous, berpendapat bahwa manusia harus bisa lepas dari simbologi yang diterapkan oleh sesuatu yang tadinya tidak terdefinisi menjadi terdefinisi, seperti makna cantik. Feminisme Post-Modern menganggap bahwa simbologi merupakan salah satu penyebab terdalam ketidaksetaraan gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun