Mohon tunggu...
Intan Maurissa
Intan Maurissa Mohon Tunggu... Jurnalis - Guru Pondok Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 2

MASA MUDA MASA YANG BERAPI-API

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hakikat Kehidupan

27 Februari 2019   13:17 Diperbarui: 2 Maret 2019   14:53 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hey. Ini adalah goresan seorang hamba yang tengah jengah akan benang kehidupannya yang rumit dan semakin kusut tafsiran disetiap detiknya. Goresan yang merindukan ketenangan dan ketentraman alur sandiwara yang entah bagaimana rasanya, karena rasa itu adalah nihil dalam memorinya. 

Goresan yang mendambakan keadaan dimana dia hanya boleh duduk dan menonton, untuk sesekali bertepuk tangan atau menangis, untuk komentar atau memilih diam, untuk memuji atau mengkritik, menyaksikan segalanya berevolusi tanpa merasa perlu untuk melibatkan dirinya sendiri dalam kehidupan orang lain, atau orang lain dalam kehidupannya. Melakukan segalanya dengan bebas tanpa ada batas, yang sebenarnya hanyalah wujud semu dari pemberontakan atas segala tuntutan banyak pihak akan dirinya.

Tapi, hey!

Bukankah itu pasif sekali? Bahkan seorang penonton tidak berhak untuk berbangga hati ketika sebuah pertunjukan itu sukses dan menuai hasil yang memuaskan, meskipun penonton memang tidak perlu untuk bersedih ketika sebuah pertunjukan itu gagal. Maka apa definisi kehidupan jikalau sang pemilik ruh tidak memiliki peran? Apakah seperti sebuah kursi yang empuk, namun tidak pernah mengerti apa hakikat makna dari 'duduk dengan nyaman'? 

Karena dirinya yang hanya diam dan tidak berbuat apa-apa? Atau seperti sekantung sampah yang bau, namun tidak pernah mengerti apa hakikat makna dari 'terusik dan hilang selera'? karena lagi-lagi dirinya yang tak lebih hanya sebagai penonton pasif? Menurutnya tidak, karena sirkulasi kehidupan bukan hanya soal bagaimana kita berkontribusi agar dipandang baik, melainkan juga sebuah cara, agar bisa memandang dengan baik.

Karena ia tak lebih dari seorang insan biasa, dengan kekuatan biasa, dan ketakutan yang sama dengan banyak orang. Berkelakuan biasa, berkarya seadanya, dan berkedudukan yang sama dengan banyak orang. 

Untuk itu, menjalani kehidupan adalah pertarungan antara hidup dan mati. Hidup dengan tetap bangkit dan berjuang mengerahkan segala kekuatan yang ia punya,atau mati. Mati ditimpa rasa pesimis, mati diserang rasa bersalah, mati ditikam rasa kecewa, atau mati terkubur rasa hina dan rapuh.

Karena apalah dayanya di hadapan mata dunia yang luar biasa. Jikalah kedua kakinya tidak dipaksa berpijak, tentulah raganya telah tersimpuh silau. Bagaimanalah dirinya yang redup, namun dituntut untuk menjadi pelita bagi banyak kejora yang berpendar-pendar, bagaimanalah dirinya yang rapuh, namun dituntut untuk menopang tiang-tiang beton yang kokoh.

Pintanya sederhana, ia tidak pernah muluk untuk sekedar ingin dihargai, tidak, tidak pernah barang sedikit pun. Dia hanya ingin berjuang, itu saja. Dengan segenap sisa tenaga yang dia punya, dan do'a yang tak pernah mengering di bibirnya. Meski harus tertatih-tatih, semua ini ia lakukan, bukan untuk dianggap kehadirannya, melainkan, agar berati kepergiannya kelak.

Mantingan, 24 Agustus 2018

      INTAN MAURISSA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun