Mohon tunggu...
Maura Natasha
Maura Natasha Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswi S1 Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Menulis murni untuk keperluan akademis, tidak untuk kepentingan atau urusan politik kelompok manapun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Omnibus Law dan Perempuan, Kawan atau Lawan?

19 November 2020   14:08 Diperbarui: 19 November 2020   14:59 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi penilaian Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Perempuan dan Politik sehingga tulisan ini bersifat murni akademis tanpa adanya kepentingan politik dari pihak manapun.

Pada hari Senin (5/10/2020), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau yang biasa dikenal sebagai Ombibus Law menjadi undang-undang. 

Dilansir dari Kompas.com, pengesahan RUU ini dilangsungkan bersamaan dengan penutupan masa persidangan pertama tahun 2020-2021, tepatnya pada Rapat Paripurna ke-7.

Secara garis besar, Omnibus Law memuat aturan-aturan mengenai persyaratan investasi, ketenagakerjaan, perlindungan bagi UMKM, kemudahan untuk melakukan usaha, kemudahan proyek pemerintah, dan beberapa pembahasan lainnya yang dianggap dapat mendukung terciptanya lapangan kerja baru dan membantu perkembangan serta pertumbuhan UMKM yang ada di Indonesia. 

Namun pada kenyataannya, Omnibus Law ini mendapat protes dari masyarakat, khususnya buruh dan mahasiswa, karena sejumlah aturan yang dimuat dalam Omnibus Law ternyata merugikan kelompok buruh atau pekerja.

Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 91 membahas mengenai sanksi bagi perusahaan yang tidak membayarkan upah bagi pekerjanya dalam dua ayat:

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan yang dimuat dalam Pasal 91 ini merupakan ketentuan lanjutan dari ketentuan Pasal 90 yang membahas mengenai mengenai larangan pemberian upah yang lebih rendah dari upah minimum pada pekerjanya. 

Namun dalam Omnibus Law, ketentuan dalam kedua pasal ini dihapuskan seluruhnya. Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan protes dari para buruh dan pekerja yang merasa kesejahteraan dan hak mereka sebagai pekerja mulai terancam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun