Mohon tunggu...
maulida arifatul munawaroh
maulida arifatul munawaroh Mohon Tunggu... Tutor - Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Belajar bisa dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nietzsche tentang "Manusia Unggul" dan Relevansinya dengan Aliran Rasionalisme

27 Januari 2021   13:19 Diperbarui: 27 Januari 2021   13:25 2999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

  • Biografi Friedrich Nietzsche

Friedrich Nietzsche merupakan seorang tokoh filsuf modern. Ia lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Roecken di daerah Sachsen. Ia berasal dari keluarga yang agamis. Ayahnya merupakan seorang pastur. Sedari kecil ia tumbuh di lingkungan beragama Kristen. Ketika ia berusia 5 tahun ayahnya meninggal sehingga pada tahun 1849-1858 ia tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya di Naumburg. Sedari muda ia sudah mengagumi pemikir Yunani Kuno seperti Plato, Socrates, Aristoteles, dan lainnya.[1] 

Ketika usia 14 tahun, ia mendapatkan beasiswa Gymnasium di Pforta. Dari sekolah tersebut ia mengenal Holderlin, Emerson,Sterne, Goethe dan Fuerbach. Selain itu ia juga mulai mengenal musik serta mengenal Paul Deussen, orang yang mengenalkan tentang pemikiran India. Pada tahun 1864 ia belajar di Universitas Born. Kemudian tahun 1865 ia mempelajari filologi di kota Leipzig. Ia tak sengaja menemukan karya dari Schopenhauer.[2] Karya tersebut cukup memengaruhi pemikirannya. Pada tahun ini diduga Nietzche tertular penyakit Sifilis. Di kota ini ia juga mulai meninggalkan agamanya.[3] Pelepasan agama kristennya tersebut terjadi setelah ia bertemu dengan David Strauss, ahli exegesis kitab suci aliran liberal.[4]

Selanjutnya Nietzche berkenalan dengan komponis hebat dan memesona di Jerman saat itu yaitu Richard Wagner. Ia merasa menemukan sosok ayah dari seorang Wagner. Wagner juga dianggap sebagai tokoh yang cukup berpengaruh dalam pemikiran dan karya Neitzche di masa ini. Kemudian ketika usianya baru 24 tahun ia diminta untuk menjadi dosen di Universitas Basel, Swiss. Meskipun ia belum menyelesaikan program doktornya, tetapi ia menerima tawaran tersebut.[5] Di tahun 1869 ia mulai memberikan kuliah ekstra mengenai filsafat. Ia juga tertarik untuk menggabungkan filologi dengan filsafat. Pada 1870 ia pernah mendaftarkan diri sebagai sukarelawan di bagian medis, tetapi kemudian ia terkena disentri dan dipteri sehingga harus di rawat dan dipulangkan.[6] 

Setelah menjadi dosen di Basel, tak disangka ia mendapatkan gelar doctor dari Leipzig tanpa diuji terlebih dahulu. Namun karirnya sebagai dosen tidak mulus karena ia mulai sakit-sakitan dan tidak bisa mengajar cukup lama. Ia memanfaatkan waktu istirahatnya untuk membuat karya-karya yang mengagumkan. Hingga akhirnya setelah sekian lama cuti, ia memutuskan untuk berhenti dari profesinya. Lalu melakukan pengembaraan ke berbagai negara. Pada tahun 1889 ia dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan sehingga dirawat di rumah sakit jiwa. Meski begitu ia tetap produktif menghasilkan karya yang tak kalah menarik. Namun, kondisinya memburuk dan ia semakin hilang kesadaran hingga tak bisa berpikir kembali. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1900 ia meninggal dunia.[7] 

  • Manusia Unggul (Ubermensch) Menurut Nietzche

Dalam buku Nietzche The Genealogy of Morals ia menjelaskan pendapatnya mengenai hakikat manusia hidup adalah kehendak berkuasa.[8] Dalam bukunya ia mengkritik moralitas kebudayaan Barat (Kristen). Dari bukunya Jenseit vom Guten und Boesen ia menuliskan pendapatnya secara garis besar mengenai manusia sering diperbudak akan pemahaman mengenai nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai moralitas yang berkembang padahal sebenarnya itu hanya sebagai semacam penyangkal atas kekurangan yang ia miliki. Manusia tidak benar-benar mandiri dengan apa yang ia masih percayai pada hal-hal yang bersifat ilusi semata. Ia tidak menjadi sebenar-benarnya manusia ketika masih memiliki kepercayaan tersebut. Di buku tersebut ia juga menjelaskan moralitas tuan dan moralitas budak. Ia mengisahkan tuan yang bebas melakukan apapun tanpa terikat pada nilai-nilai tertentu. Sedangkan budak dianggap menyalahi kodrat jika berlaku sama seperti tuannya, sebab perilakunya ditentukan oleh yang berkuasa.[9] 

Menurut hemat penulis pada apa yang ia jelaskan, Nietzche mengungkapkan pemahaman mengenai genealogi bahwa manusia selalu butuh akan rasa percaya dan pegangan akan sesuatu. Bahkan ketika manusia sudah terlepas dari kepercayaan pada Tuhan sekalipun ia masih memiliki kepercayaan pada ideology lain, dalam buku Gaya Filsafat Nietzche juga dijelaskan para saintis masih ada yang mempercayai UFO, dan manusia beragama juga memiliki kepercayaan atas apa yang ditolak pada ajaran agamanya. Ia mengemukakan lebih lanjut pendapatnya bahwa ketika manusia masih memiliki kepercayaan seperti itu dan ia masih terikat bearti manusia belum sempurna, cacat, tak kuat.[10]

Penjelasan Roy Purwanto mengenai tulisan Nietzche Der Wille zur Macht dan Die Frohliche Wissenschaf tetang pembentukan nihilisme atas geneologi yang ada, tidak dimaksudkan bahwa Tuhan benar-benar mati. Akan tetapi sebagai pembunuhan sosok Tuhan sebagai penenang akan jaminan kepastian hidup. Ketika ia mengatakan bahwa Tuhan telah mati, maka manusia dituntut untuk bisa berdiri sendiri dan mandiri. Ia tak bisa lagi berpegangan pada hal-hal yang selama ini dianggap oleh Nietzche fana. Tujuannya adalah untuk menciptakan manusia menjadi manusia unggul, super, dan tak memiliki kecacatan atau bahasa yang ia gunakan adalah Ubermenzch. Kenyataan hidup adalah tanggung jawab yang harus dihadapi manusia sendiri. Kemudian ketika ia telah sampai pada titik nihilisme, bukan berarti semuanya selesai namun ia harus menciptakan dan memahami nihilisme aktif. Ia berkuasa dan bebas bertindak, tidak ada lagi sistem atau nilai-nilai yang mengekang. Ia menciptakan sendiri kekuatan, budaya, nilai-nilai, dan keberanian dalam berperilaku. Baginya, sifat-sifat terpuji dan tercela sebenarnya tidak ada, itu hanyalah keterikatan yang sebelumnya diatur oleh agama (Tuhan). Segalanya semu, termasuk balasan yang akan kita terima konon di alam lain setelah mati.[11] 

  • Relevansi Manusia Unggul (Ubermensch) dengan Aliran Rasionalisme

Beberapa penjabaran mengenai konsep pemikiran Manusia Unggul (Ubermensch) Neitzsche yang telah disampaikan terdapat beberapa hal yang memiliki relevansi dengan pemikiran aliran filsafat rasionalisme. Menurut Setyo Wibowo dalam bukunya bahwa tafsir rasionalis akan melihat bahwa karya Neitzche yang berbicara mengenai kepercayaan dan tahap kemajuan manusia. Dimulai ketika ia percaya pada sesuatu berarti ia masih anak-anak dan belum dewasa. Kemudian ia melanjutkan bahwa kaum rasionalis beranggapan Neitzsche menawarkan atau menunjukkan kedewasaan yang sebenarnya pada manusia. Manusia yang tidak terikat, bebas, dewasa, serta independen. Tafsir Neitzsche dianggap sangat kental akan pemikiran rasionalis bahwa agama dan metafisika adalah kesalahan infantil, sesuatu irrasional, yang harus dibuang dan dipahami secara rasional.[12]             

Nietzche dalam melihat sains sebagai pokok perhatiannya lebih memilih memahami mengenai ‘roh’ dari metode saintifik soal apa mekanismenya sehingga mereka bisa menjabarkan sebuah penemuan akan pengetahuan. Jika hal yang mendasarinya belum jelas maka ia akan menyebutnya sebagai bagian dari moral yang sejajar dengan kepercayaan lainnya dalam kaitannya dengan ubermensch. Baginya, kebenaran haruslah obyektif dengan mengesampingkan subyektivitas. Namun ia tak memungkiri bahwa kebenaran pun tidak ada yang sepenuhnya benar karena itu kuasa tiap-tiap individu. Tetapi ketika pembuktian eksperimen menujukkan kesalahan keyakinan pada sebelumnya, manusia perlu mengamininya, karena itulah realitas yang terjadi. Hal ini sesuai dengan para pemikir aliran rasionalis yang mementingkan obyektivitas dalam memandang sebuah kebenaran apa adanya. Namun, ia menambahkan lagi bahwa kebenaran sebenarnya adalah kekeliruan seiring berjalanannya waktu.[13] Hemat penulis, apa yang menurut kita saat ini adalah kebenaran, di masa depan pasti akan ada yang membantah dan menganggap itu sebagai kekeliruan baik sepenuhnya maupun tidak. 

Pada dasarnya berdasarkan literasi-leterasi yang ada pemikiran Neitzche cukup relevan dengan pandangan kaum rasionalis, hanya saja ia tidak sepenuhnya sepaham dengan pemikir-pemikir sebelumnya meskipun mengaguminya. Ia bahkan sering mengkritik cukup dalam hingga menolak pemikiran dan menawarkan pandangan lain mengenai suatu hal. Filsuf seperti Plato misalnya, mengenai konsep atau idea dianggap merupakan bagian dari revolusioner yang radikal sebagai bentuk ketidakpuasan atas pemerintahan di masanya. Berbagai alasan ia sampaikan secara jelas. Namun, terlepas dari itu, pemikiran Neitzsche tak bisa dipungkiri terpengaruh oleh dari aliran ini.

  • Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun