Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Didik Karakter Anda Sebelum Mendidik Karakter Anak

15 September 2014   20:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:37 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah kembali memunculkan unsur “karakter” ke dalam kurikulum pendidikan 2013 ini. Semua pihak tentu mafhum bahwa ia bukanlah ide baru, karena pada beberapa kurun waktu sebelumnya tema ini pun mencuat dan senantiasa dijadikan ‘kata kunci’  di mana-mana. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak slogan, baik yang sengaja ditempel di sekolah-sekolah, maupun  yang tertulis pada spanduk-spanduk dan baliho-baliho acara seminar yang banyak tersebar di ruang-ruang publik.

Seolah dengan ditempelkannya slogan-slogan ini, ia akan serta-merta menjadi senjata ampuh atau tongkat ajaib yang dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik. Saya berani mengatakan “nonsense” untuk usaha ini.

Pengambil kebijakan adalah manusia yang notabene memiliki hati dan nurani. Seseorang yang berhati nurani pasti akan berbicara dengan bahasa cinta yang penuh dengan kelembutan. Dan itu akan ditiru sampai ke jajaran-jajaran yang berada di level-level bawah. Pertanyaannya sederhana: sudahkah ini kita lakukan?

Tak perlulah jauh-jauh berbicara teori ini dan itu, secara gamblang dalam kehidupan sehari-hari sudahkan kelembutan hati yang tercermin dalam tutur kata dan perilaku menjadi santapan kita? Jika ini tidak mampu kita jawab dengan kepala yang tegak mendongak, maka usahlah kita bersusah payah mengajarkan pendidikan karakter kepada anak-anak kita. Ia akan masuk telinga kanan, dan keluar di telinga kiri. Karena pendidikan karakter tidak butuh diajarkan, akan tetapi butuh dicontohkan.

****

Saya tak ingin menjadi orang yang pesimistis dengan wacana yang begitu banyak tentang masalah pendidikan karakter, karena bagaimanapun berwacana itu penting. Namun, yang ingin saya “ketuk” di sini adalah, bahwa ada hal yang sangat krusial dan mendasar yang penting untuk kita lakukan sebagai seorang pendidik. Apakah itu?

Didiklah dulu diri kita baru kemudian didik anak-anak kita.

Mungkin akan timbul reaksi protes yang menyatakan penolakan atas ide ini. “Mana mungkin cukup waktu untuk melakukan itu sementara anak-anak sudah menunggu untuk segera ditangani.” Baiklah, saya jawab, mari kita menggunakan metode teaching by doing. Artinya, sambil mengajar kita pun memecut diri untuk berubah. Secara perlahan tapi pasti, kita kembali mengintrospeksi perilaku-perilaku sehari-hari mana yang selama ini salah, atau sifat mana yang harus saya ubah? Dalam hal ini saya yakin 100% semua pendidik dan pengajar mengetahui dengan persis mana perilaku baik mana yang buruk, mana norma dan nilai-nilai positif yang perlu dilestarikan, mana yang tidak, dan seterusnya. Ia hanya butuh ‘keinginan kuat’ (good will) dari pendidik dan pengajar untuk dipraktekkan.

Negeri ini sudah terlalu parah dan penuh sesak dengan persoalan karakter. Tingkat korupsi masih sangat tinggi, pembajakan hasil karya orang lain masih sering terjadi, budaya antri dan disiplin masih sangat rendah, ditambah lagi dengan masalah-masalah kenakalan remaja dan tawuran yang tak ada hentinya. Tanpa bermaksud bersikap pesimistis atau putus asa, karena sifat seperti ini terlarang dalam agama, saya ingin kembali mengingatkan dan mengajak semua lapisan masyarakat yang merasa terpanggil untuk do something dengan anak-anak kita. Dengan cara mulailah dengan diri sendiri.

Orang lain boleh tidak peduli, tapi saya mau peduli

Sebenarnya kita semua sudah sangat bosan dengan banyaknya wacana dan kebijakan yang terus bergulir seolah tanpa henti. Belum selesai yang satu, muncul lagi kebijakan baru lainnya. Seolah masalah dengan sederhana bisa selesai hanya dengan sebatas kebijakan yang dikeluarkan. Jika ini terus-menerus terjadi tanpa hasil yang memuaskan, maka bangsa ini secara perlahan akan menjadi bangsa yang menganut paham fatalistik. Alias masa bodoh.Menyerah pada kemana pun takdir membawanya pergi.

Akhirnya yang muncul adalah prinsip “yang penting kerja”, “yang penting mengajar”, “yang penting ngantor”, atau “yang penting hadir”. Rasa “memiliki” sudah mulai luntur. Karena rasa memiliki yang mulai menipis ini, maka yang terjadi pada akhirnya adalah melakukan pekerjaan pun hanya sekadarnya saja. Jika dalam aktivitas mengajar, kita berprinsip seperti ini, maka yang kasihan adalah anak didik yang akan jadi korban. Terlepas dari gaji yang minim, tunjangan yang kurang, atau sistem yang buruk,  seorang pengajar hendaknya mau dengan sungguh menanamkan rasa kasih sayang dan cintanya dalam mendidik anak-anak mereka di sekolah, sehingga hasilnya dijamin akan sangat jauh berbeda.

Jika kita peduli, anak-anak pasti akan selamat.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun