Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriyah telah berlalu beberapa minggu yang lewat, akan tetapi moment sakral tersebut masih teringat hingga hari ini.
Apalagi hari kemenangan terasa sangat spesial karena berhasil melawan haus dan lapar, hingga menahan hawa nafsu setelah tunai sebulan penuh dapat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan lancar.
Moment setahun sekali berkumpul dengan seluruh keluarga yang tinggal jauh dan ada yang karena pekerjaan yang jauh dari kampung halaman yang mengharuskannya tinggal jauh dari kampung halaman.
Semua datang untuk bersilaturahmi, melepas rindu dan untuk saling bermaaf-maafan.
Suasana yang semakin terasa meriah ketika disuguhkan makanan khas Kandangan, apalagi kalau bukan Ketupat Kandangan.
Ketupat pada umumnya sama saja dengan daerah-daerah lain, hanya saja dalam proses pembuatan kuah ketupat kandangan serta lauknya memiliki ciri khas tersendiri.
Sehingga pada hari inti Idul fitri setelah pelaksanaan shalat Ied kemaren, banyak masyarakat yang secara bergantian mengundang tetangganya untuk sekedar selamatan menjamu, dengan menu yang sama yaitu ketupat Kandangan.
Ketupat Kandangan sendiri sebagaimana dikemukakan Ahmad Ali Rendra tentang "Sejarah Ketupat Kandangan, dari hidangan rakyat hingga ikon budaya", ternyata memiliki beberapa jenis dan cara pengolahan yang berbeda di beberapa tempat di Hulu Sungai Selatan.
Alhasil beberapa kecamatan memiliki ciri khas tersendiri cara pengolahannya hingga penyajiannya.
Tak terkecuali cara membuat anyaman ketupat nya.
Ada seni tersendiri tentang keahlian membuat anyaman tempat ketupat ini.
Yang faktanya bahkan tidak semua orang Kandangan bisa menganyam dan membuat ketupat.
Dahulu kami generasi tahun 90-an sering mendengar ujaran orang tua di Kandangan kepada anaknya,
yaitu laki-laki atau perempuan harus bisa membuat anyaman ketupat.
Alasannya, apabila belum bisa mengayam pertanda "belum kawa balaki atau babini", yang maksudnya belum pantas berkeluarga.
Seolah menganyam ketupat dijadikan orang tua dahulu tolak ukur ketika hendak berkeluarga.