Tahun 2020 harusnya menjadi tahun ketika saya memulai langkah baru dalam menapaki karier sebagai seorang mahasiswa. Menjalani perkuliahan dengan penuh suka cita.Â
Memulai dari ospek yang menjadi lembaran awal bagi kisah saya di kampus tercinta. Sayangnya, hal itu tak terjadi. Namun, masih harus disyukuri. Saya masih berkesempatan untuk mengalami perkuliahan walau hanya melalui layar handphone atau pun melalui layar laptop saya.Â
Universitas Andalas menjadi pilihan saya. Sumatra Barat yang sebelumnya tak terjangkau, kini perlahan mulai saya kenali. Minangkabau yang penuh daya tarik membuat saya ingin mengenalnya lebih jauh.Â
Ternyata ada banyak hal yang saya tidak tahu. Sungguh, perkenalan pertama yang saya dan teman-teman lakukan di grup Whatsapp menjadi pembuka mata bagi saya yang telah tinggal dan menetap sedari lahir hingga saa ini di kampung halaman saya.Â
Budaya yang saya temui sejak kecil sangat berbeda dengan budaya pada orang-orang Minang. Yah, walaupun orang-orang Minang yang saya temui secara virtual itu hanya sejumlah kecil dari yang sesungguhnya ada.Â
Saya menemukan ternyata kebudayaan tradisi mereka sangat kental. Mungkin bisa dikatakan bahwa setiap segi kehidupan sehari-hari mereka tida lepas dari kebudayaan tradisinya.Â
Makanan yang dikonsumsi, bahasa yang digunakan, dialek yang terdengar jelas ketika mereka berbicara, hingga adat yang mereka laksanakan pada upacara pernikahannya yang hanya dapat saya lihat melalui status Whatsapp dari teman-teman Minang saya.Â
Pengetahuan saya rasanya semakin terbuka, terutama ketika masa perkuliahan dimulai. Rasa tradisi dari orang Minang sangat terasa. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan tempat saya tumbuh.Â
Di sini kami berbaur antara etnis Melayu dan Tionghoa. Pendatang dari luar daerah juga banyak. Bahkan, jika berbicara tentang pengalaman pribadi, saya bertemu dengan teman-teman yang tidak hanya dari daerah saya saja. Ketika di bangku sekolah dasar, saya bertemu teman baru yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.Â
Pada tingkat selanjutnya, di sekolah menengah ata, teman yang beretnis Tionghoa mulai saya dapatkan. Terutama mereka. Bahasa yang mereka gunakan ketika berkomunikasi dengan kami, para siswa Melayu ialah bahasa Indonesia, tetapi tidak kaku dan formal.Â