Situasi dinamika perpolitikan Indonesia hari - hari sedang “panas-dingin” pasca Pemilu 2024. Hal ini bukan tanpa sebab. Putusan MK yang menolak gugatan Paslon 01 Anies - Muhaimin dan Paslon 03 Ganjar - Mahfud menandai bahwa pasangan 02, Prabowo - Gibran telah resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kini, ramai - ramai partai koalisi 01 dan 03 yang mulai “merapat” kepada Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Partai Nasdem, salah satu partai 01 telah resmi menyatakan bergabung pada pemerintah yang akan datang.
Dalam keterangannya di kediaman Prabowo di Kertanegara, Surya Paloh mengatakan "Kalau memang ada opsi karena dasar, bukan saya yang meminta. Tapi kesempatan, dorongan, keinginan, spirit mengajak, untuk bersama dengan pemerintahan saya pikir itu lebih baik. Itu lah pilihan saya, pilihan NasDem," kata Surya Paloh. Sampai saat ini, baru Surya Paloh yang secara resmi bergabung bersama pemerintahan Prabowo. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa juga sudah melakukan pertemuan dengan Prabowo, dan memberi selamat pasca ditetapkan secara resmi oleh KPU. Dalam pertemuan di Markas PKB, Kramat, Cak Imin menyampaikan 8 agenda perubahan kepada Prabowo.
Pertemuan - pertemuan ini semakin menguatkan bahwa pemerintahan yang akan datang sedang berusaha “merangkul” lawan - lawan politik nya, sehingga menciptakan minim nya suara - suara kritikan di parlemen. Memang, dalam sistem negara Presidensial seperti Indonesia, tidak mengenal oposisi. Bahkan, belum ada peraturan hukum yang secara resmi mengatur harus adanya oposisi, sehingga tidak menutup kemungkinan ajakan Prabowo kepada semua lawan - lawan nya, termasuk PDIP, PKS, PPP bertujuan untuk “meniadakan” oposisi. Tentu saja, banyak pro - kontra terkait pandangan ini. Seperti ahli Sahel Muzzammil, Peneliti Transparency International Indonesia mengatakan bahwa peran oposisi sangat penting dalam check and balance terhadap pemerintah. Ia mengungkapkan, ketiadaan oposisi akan menyebabkan masyarakat dan pemerintah terpisah. Karena, masalah yang seharusnya disuarakan oleh kelompok oposisi di parlemen justru disuarakan oleh massa di media sosial dan di jalanan dengan demonstrasi. Namun, realitas nya lanskap politik Indonesia pasca 2024 seperti nya akan banyak berubah. Ini terjadi, karena semua pembagian kekuasaan yang “terlalu bebas” yaitu pembangunan koalisi yang fleksibel, seperti saat ini dimana Partai Demokrat menjadi partai oposisi terakhir yang masuk dalam koalisi pemerintah.
Menghadapi realitas Politik ini, sebenarnya hal yang dapat dilakukan adalah mereformasi cara berfikir, dimana seringkali parlemen hanya menjadi tempat persetujuan undang - undang bukan menjadi forum diskusi yang kritis. Seharusnya, di parlemen tidak mengenal istilah “oposisi” atau “pro pemerintah” melainkan prinsip pembangunan. Artinya, semua partai berdiri secara independen ikut bergotong royong membangun bangsa dengan tetap kritis. Solusi ini dapat dilakukan dengan membedakan antara fungsi eksekutif yaitu para menteri dengan fungsi legislatif yaitu mengontrol sehingga partai - partai yang bersuara kritis di parlemen tetap dapat bekerja di dalam pemerintah sebagai pembantu presiden dan tidak takut di "ressufle".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI