Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pembentukan BPI, Cek Kosong Dari Pemerintah untuk Insan Film

26 Juli 2015   12:41 Diperbarui: 26 Juli 2015   12:44 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Akhir-akhir ini muncul pertanyaan dari sejumlah kalangan tentang fungsi dan peran Badan Perfilman Indonesia (BPI). Pertanyaan yang sempat ditangkap oleh penulis adalah: Apa peran BPI terhadap perfilman Indonesia? Apakah BPI hanya menempatkan diri sebagai event organizer (EO) yang bertugas menyelenggarakan sekaligus melaksanakan festival film atau mengirim insan film ke berbagai festival di luar negeri? Mana pemikiran strategis BPI bagi perfilman Indonesia, terutama ketika film nasional sedang terpuruk seperti ini? Dan tentu banyak lagi pertanyaan lainnya, baik yang ditujukan langsung kepada pengurus BPI maupun dalam obrolan simpang siur di kalangan insan film maupun mereka yang perduli terhadap perfilman nasional.                

Bahkan dalam diskusi bertajuk “Produksi Film Naik, Penonton Turun, Kenapa?”, beberapa peserta mengajukan pertanyaan langsung kepada Ketua BPI Kemala Atmodjo tentang fungsi dan peran BPI, di tengah keterpurukan film Indonesia. Kemala yang nampaknya sudah lelah dengan pertanyaan seperti itu, terlihat reaktif, katanya,”BPI itu memang sudah salah dari awalnya, karena tidak punya anggaran. Tapi kita disuruh begini-begono, ya bagaimana? Wong makan aja beli sendiri kok!”

Nah, bila berbicara tentang kegiatan, maka ujung-ujungnya adalah duit. Tak ada satu pun kegiatan penting yang tidak pakai duit. Kalau BPI tidak bisa bergerak seperti keinginan banyak pihak, bisa dimaklumi, karena badan ini memang tidak dibekali oleh anggaran oleh yang membentuknya. Padahal debt collector saja untuk menagih hutang tidak cukup hanya dibekali surat kuasa; paling tidak ada uang makan dan ongkos buat para penagih utang itu dari yang memberi kuasa. Sebelum berbicara lebih jauh, kita lihat dulu dasar pembentukan BPI.

Tujuan pembentukan BPI adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman (Pasal 67 UU No.33 tahun 2009). Dasar pembentukan BPI adalah Undang-undang (UU) No.33 tahun 2009 tentang Perfilman. Pasal 68 UU No.33 tahun 2009 itu mengatakan: (1) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dibentuk badan perfilman Indonesia. (2) Pembentukan badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah. (3) Badan perfilman Indonesia merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri. (4) Badan perfilman Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. (5) Badan perfilman Indonesia dikukuhkan oleh Presiden.

Adapun tugas BPI sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 69 untuk: a. menyelenggarakan festival film di dalam negeri; b. mengikuti festival film di luar negeri; c. menyelenggarakan pekan film di luar negeri; d. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing; e. memberikan masukan untuk kemajuan perfilman; f. melakukan penelitian dan pengembangan perfilman; g. memberikan penghargaan; dan h. memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.      

Sejauh ini BPI sudah menjalankan beberapa tugasnya, antara lain menyelengarakan festival di dalam negeri dan mengikuti festival film di luar negeri. Seperti diketahui, BPI merupakan Penyelenggara sekaligus Pelaksana Festival Film Indonesia (FFI) 2014 di Palembang, dan Apresiasi Film Indonesia (AFI) yang berada di bawah Kemendikbud. Peran ganda itu tidak pernah dilakukan oleh Dewan Film Nasional (DFN) atau penggantinya Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

Dulu keduanya hanya bertindak sebagai Penyelenggara, sedangkan Pelaksana dilakukan oleh Panitia tersendiri. Karena memikul dua beban sekaligus, maka pelaksanaan FFI 2014 agak kacau. Menurut sumber, dalam audit BPK ditemukan kelebihan pemakaian uang negara sebesar Rp.3 milyar yang harus dikembalikan. Siapa yang harus mengembalikan? Tentu saja bukan BPI, melainkan perusahaan pemenang lelang pelaksanaan FFI 2014.

Mengirim insan film untuk mengikuti festival di luar negeri juga sudah dilakukan oleh BPI, meski untuk itu BPI harus “ngecrek” (istilah sebuah ormas untuk meminta sumbangan) ke berbagai pihak. Ketika mengirim insan film ke Cannes Film Festival beberapa waktu lalu misalnya, Kemendikbud memberi sumbangan untuk memberangkatkan tiga orang, lalu ada produsen kopi, dan pihak-pihak lain yang tidak disebutkan.

Sementara tugas yang terkait dengan huruf d sampai h Pasal 69, tidak bisa dijalankan oleh BPI. Keberpihakan BPI kepada film nasional juga diragukan. Bukan memberi masukan positif, dalam berbagai kesempatan Ketua BPI Kemala Atmodjo justru kerap mengkritik film-film Indonesia yang diproduksi dengan biaya rendah, dan memiliki tema berorientasi pasar. Seolah film-film jenis tersebut adalah anak haram perfilman Indonesia.

Ketua BPI tidak mencoba melihat lebih luas bahwa produser film harus mencari cara agar filmnya ditonton oleh masyarakat, bukan membuat film semata-mata untuk tujuan festival. Ketua BPI Kemala Atmodjo pastinya sudah paham bagaimana sakitnya membuat film tetapi tidak diminati penonton, karena dia sendiri pernah menjadi produser film. Setelah film produksinya yang berjudul “Sri”, nyungsep, ia tidak membuat fim lagi. Tidak gampang bisnis film.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun