Apakah kita sudah peduli dan peka terhadap kehadiran mereka di tengah kita? Apa yang telah kita lakukan untuk memberi peluang serta melibatkan mereka dalam pembangunan masyarakat?
SEBUAH REFLEKSI UNTUK BERTINDAK NYATAÂ
"Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri."Â RA Kartini
Kita telah banyak mengikuti forum, seminar, kini webinar juga diskusi berkepanjangan yang membahas peran perempuan dan menyorot isu-isu seputar gender/arus keutamaan gender, kepemimpinan, diskriminasi  kekerasan dalam rumah tangga dan masih banyak lagi. Perbedaan dan toleransi seringkali kita sorot dari sisi gender, budaya, kepercayaan atau orientasi politik. Namun, tak jarang kita secara sadar ataupun tidak melakukan 'perbedaan' dengan saudara-saudara kita kaum disabilitas. Sudah cukupkah kita membahas dan berjuang untuk apa yang menjadi hak-hak mereka sebagai warganegara dan masyarakat? Apakah kita sudah peduli dan peka terhadap kehadiran mereka di tengah kita? Apa yang telah kita lakukan untuk memberi peluang serta melibatkan mereka dalam pembangunan masyarakat? Hari ini 21 April 2021 kita saling mengucap SELAMAT HARI KARTINI. Mengenang kembali jasa seorang tokoh pejuang perempuan nasional yang saat itu terbilang masih belia usia 14 tahunan, namun memiliki pemikiran cemerlang disertai tindakan nyata untuk melepas kaumnya dari kungkungan untuk bebas, mandiri dan cerdas. Kartini adalah pejuang inklusif yang mengedepankan kepentingan semua golongan.
Masyarakat pada  umumnya mengenal istilah difabel dan disabilitas sebagai yang memiliki makna yang sama, padahal tidak demikian. Disability (disabilitas) merupakan keterbatasan fisik maupun mental atau keduanya dari seseorang. Disabilitas lebih merujuk pada (maaf) ketidakmampuan melakukan sesuatu karena keterbatasan fisik atau mental. Penyandang dianggap belum mampu berakomodasi dengan  lingkungan sekitarnya. Terdapat beberapa jenis disabilitas dikutip dari AloDokter.com , yaitu:
- Disabilitas fisik, seperti gangguan gerak yang menyebabkan tidak bisa berjalan
- Disabilitas sensorik, seperti gangguan pendengaran atau penglihatan
- Disabilitas intelektual, seperti kehilangan ingatan
- Disabiltas mental, seperti fobia, depresi, skizofrenia, atau gangguan kecemasan.
Sedangkan difabel didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas secara berbeda dibandingkan orang kebanyakan. Difabel belum tentu cacat atau disabled. Orang yang difabel  memiliki kemampuan seperti orang lain, tetapi kemampuan dan cara yang digunakannya berbeda.  Mengutip dari Wikipedia, "Difabel adalah istilah yang lebih halus untuk menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami disabilitas. Difabel mengacu pada keterbatasan peran penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari karena ketidakmampuan yang mereka miliki, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi." Artinya, seorang yang difabel bukanlah tidak mampu, melainkan hanya terbatas dalam melakukan aktivitas tertentu. Kondisi seorang difabel juga bisa diperbaiki dengan alat bantu yang membuatnya mampu melakukan aktivitas.
Lingkungan dan Penyandang Difabel
      Masih banyak kesulitan atau perlakuan diskriminatif kepada mereka. Pertama soal akses dalam memperoleh informasi dan pekerjaan, mereka tidak hanya bersaing dengan para pencari kerja yang memiliki keterbatasan melainkan terutama mereka yang sehat secara fisik. Meski pemerintah sudah menerapkan UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang mewajibkan penyedia kerja memberikan kuota satu persen bagi difabel sebagai bagian dari tenaga kerja mereka dan diperkuat dengan UU Penyandang Disabilitas yang disahkan pada 2016 yang mewajibkan Badan Usaha Milik Negara mempekerjakan difabel paling sedikit 2 persen dari jumlah pekerjanya, namun masih terbatas perusahaan yang mengetahui aturan tersebut atau mungkin tidak menganggap sebagai sebuah keharusan.
  Selain kesempatan memperoleh pekerjaan yang tidak mudah serta masih terbatasnya perhatian bagi kaum difabel tampak dari belum tersedia secara memadai fasilitas-fasilitas untuk mereka terutama transportasi dan fasilitas publik lainnya. Transportasi umum seperti TransJakarta, kereta, juga penyeberangan jalan, halte, gedung perkantoran dan sekolah-sekolah bahkan rumah ibadah umumnya belum ramah difabel. Fasilitas-fasilitas dan petunjuk-petunjuk untuk mereka belum tampak jelas. Di Jakarta misalnya sebagai Ibu Kota negara, jangankan penyediaan jalan khusus bagi kaum difabel, trotoar tempat pejalan kakipun seringkali diisi oleh pedagang kaki lima atau dilewati motor. Hal ini tidak memberi ruang bagi pejalan kaki dan tentunya dapat membahayakan keselamatan masyarakat.
      Di tengah kemajuan teknologi digital dan membanjirnya informasi melalui media sosial, adalah sebuah peluang sekaligus harapan bagi kaum difabel untuk juga dapat memperoleh akses informasi yang diperlukan. Bagaimana kemajuan teknologi dapat dirasakan juga oleh kaum difabel adalah sebuah tantangan tersendiri. Di lain pihak, sebagai bagian dari masyarakat  kita perlu memberi kesempatan kaum difabel untuk berperan dalam aktivitas kemasyarakatan. Hal ini dapat dimulai dari komunitas tingkat desa atau RT/RW dengan mengajak penyandang cacat atau difabel guna mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan. Dengan merangkul mereka, kita telah memberi kesempatan bagi mereka lebih bersosialisasi secara terbuka. Selain itu berpartisipasi dalam mengupayakan prasarana lingkungan yang ramah anak, ramah difabel, ramah lansia. Kita perlu memberlakukan mereka sebagai rekan dan sahabat seperti orang kebanyakan bukan orang yang melulu dikasihani, mereka tidak membutuhkan hal itu. Mereka perlu diberi semangat dan diakui kemampuannya meski dengan cara berbeda.