Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Racun-racun Pendidikan (Bag. 1)

2 Mei 2018   09:00 Diperbarui: 2 Mei 2018   09:05 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar dari istiana.susanti.com)

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang, sebagai usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Jadi, pada hakekatnya pendidikan adalah sebuah proses untuk menjadi lebih baik. Karena pendidikan bertujuan baik, prosesnya pun seharusnya juga dilakukan dengan baik. Sayangnya, meski bertujuan baik masih banyak para pelaku pendidikan yang berperilaku tidak baik. Mustahil akan menghasilkan produk yang baik jika proses atau pelakunya saja sudah tidak baik.

Sebagaimana layaknya sebuah proses atau perjalanan, tentu akan banyak menghadapi godaan dan gangguan yang menyebabkan produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan kita. Godaan dan gangguan (dalam tulisan ini saya istilahkan dengan 'racun-racun') itu bisa yang berwujud nyata maupun yang tidak nyata atau tidak kita sadari. Baik yang berasal dari luar maupun yang dari diri kita sendiri, sebagai pelaku proses pendidikan tersebut.

Racun-racun pendidikan yang nyata biasanya berasal dari luar lingkungan pendidikan, misalnya : narkoba, rokok, tawuran pelajar, media sosial dan lain sebagainya. Sedangkan racun-racun pendidikan yang tidak nyata atau tidak kita sadari kebanyakan berasal dari dalam lingkungan  pendidikan atau oleh mereka yang terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri, seperti : orang tua, murid, guru dan sekolah. Racun-racun tidak nyata ini tanpa kita sadari telah mempengaruhi pola pikir kita, merubah persepsi kita yang pada akhirnya membuat kita mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang salah.

Tulisan ini tidak akan membahas racun-racun yang nyata, tapi membahas racun-racun yang tidak nyata atau tidak kita sadari.

Fenomena ini mulai marak terjadi beberapa tahun belakang. Entah apa yang ada di benak para orang tua sekarang memasukkan sekolah anaknya terlalu dini. Usia tiga tahun sudah dimasukkan PAUD. Usia empat tahun masuk TK dan usia enam tahun masuk SD. Dengan alasan karena sudah bisa membaca dan berhitung, meski baru berusia enam tahun bahkan kadang-kadang baru lima setengah tahun sudah dimasukkan ke SD. Meski tidak sepenuhnya salah, tapi menurut penuturan beberapa guru usia tujuh tahun adalah usia yang paling pas untuk masuk SD. Tentu akan sulit mengepaskan usia anak tujuh tahun pada saat pendaftaran. Untuk itu tentu ada sedikit toleransi. Menurut info dari sekolah anak saya, usia paling muda untuk masuk SD yang ditentukan Departemen Pendidikan saat ini adalah enam setengah tahun.

Meski tidak semuanya, tapi kebanyakan anak yang terlalu cepat masuk SD lebih susah untuk diajak tertib di dalam kelas daripada anak yang masuk SD di usia yang tepat. Pola pikir mereka seperti masih sebagai anak TK. Mereka belum menyadari tingkat kedisiplinan di SD sudah lebih ketat daripada ketika di TK.

Beberapa guru SD yang pernah saya jumpai pernah menyampaikan, kebanyakan anak yang terlalu cepat masuk SD bisa mengikuti pelajaran sampai kelas III. Begitu masuk kelas IV dan seterusnya kebanyakan dari mereka mulai keteteran, kecuali mereka memang benar-benar berotak encer atau calon jenius. Sayangnya belum ada data valid yang berasal dari penelitian mendalam tentang pernyataan tersebut di atas.

Seorang teman yang pernah menjadi panitia pendaftaran siswa baru menceritakan salah satu pengalamannya menghadapi orang tua yang memaksakan anaknya masuk SD karena anaknya sudah bisa membaca dan berhitung. Meski sudah dijelaskan bahwa anaknya tidak bisa diterima karena belum cukup umur, apalagi semua bangku sudah terisi, sang bapak tetap saja memaksakan supaya anaknya bisa diterima. Bahkan sang bapak mengatakan kalau terpaksa anaknya harus duduk di kelas satu selama dua tahun juga tidak apa-apa. Aneh! Sang bapak tidak menyadari risiko jika permintaannya dikabulkan oleh pihak sekolah. Anaknya akan kebingungan kenapa dia tidak naik ke kelas dua. Dan di hadapan teman-temannya dia akan diolok-olok karena tidak naik kelas. Yang tidak tahu permasalahannya akan mengira anak tersebut bodoh.

Meski tidak ada larangan, memasukkan anak ke sekolah terlalu dini sangat tidak dianjurkan. Orang tua diharapkan lebih bijaksana, jangan hanya mementingkan egonya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan dan kondisi sang anak.

Untuk kasus ini saya salut dengan sikap salah seorang teman. Begitu mengetahui anaknya yang masih di PAUD diajari membaca, langsung ditarik keluar. PAUD untuk bermain bukan untuk belajar membaca, demikian alasannya.

  • Memaksakan Anak Masuk Sekolah Tertentu

Ada dua jenis pemaksaan yang dilakukan orang tua kepada anaknya dalam memilih sekolah atau jurusan.

  • Pemaksaan Masuk Sekolah Favorit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun