Kontestasi Pilpres kali ini menyuguhkan berbagai macam drama politik yang menurut saya sudah benar-benar menguras (mau tidak mau,suka atau tidak suka) pikiran kita, akan halnya proses pengurasan pikiran kita sebenarnya sudah diawali saat pilkada Jakarta lalu, ketika tiba-tiba saja narasi keimanan seseorang tiba-tiba menjadi tolak ukur penilaian terhadap pilihan politik kita.
Di mana seseorang dianggap tidak beriman munafik atau gugur segala pahala nya hanya dikarenakan tidak mau mengikuti pilihan politik kaum tertentu, dan hal itu berlangsung hingga kini dan bahkan semakin menguat saat kontestasi pilkada berubah menjadi kontestasi pilpres, bahwa ketika kita memilih Jokowi maka otomatis dianggap sebagai umat islam yang munafik, sudah bukan lagi menjadi rahasia umum (tidak perduli bahkan wakilnya adalah seorang ulama sekalipun).
Hal ini tentu saja mengusik nurani kita, di mana segala amal, pahala, dan ibadah yang kita lakukan personal antara diri kita sendiri dan tuhan, bisa dengan mudahnya dihakimi orang lain, dinilai kelompok lain sebagai hal yang sia-sia atau ke pura-puraan (munafik). Apalagi linimasa dakwah beberapa ustad-ustad kita entah di mesjid, majlis taklim, media online hanya berisikan kampanye terselubung, ajakan tersembunyi atau bahkan hujatan dan fitnah yang terang-terangan.
Hal ini tentu saja suka atau tidak suka, mau atau tidak mau telah membuat pendikotomian umat kita, dan sebagai pendukung jokowi yang mendukung karena rasionalitas dan logika menjadikan seolah-olah ibadah yang saya lakukan adalah palsu dan tidak pernah bisa dihargai. Meskipun saya tetap yakin bahwa "ibadahku, sholatku, hidup dan bahkan matiku hanya untuk Allah SWT" tetap saja stigma itu membuat hati saya kadang terluka.
wallahulam
-7-Â