Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Natsir: Agamis Ditengah Pergerakan Nasional

12 September 2010   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:17 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semua orang pergerakan memiliki ideologinya sendiri-sendiri. Ada yang berkiblat pada Islam, ada yang bangga dengan nasionalisme juga ada yang mantap dengan marxisme-nya. Natsir sepertinya orang yang masih berkiblat pada Islam tetapi juga memiliki jiwa nasionalis yang tidak diragukan.

Menurut Yusril Ihza Mahendra, gagasan politik Natsir dalam pergerakan, awal decade 1930an, memperlihatkan ciri-ciri 'Modernisme Islam'. [1] Banyak tulisan Natsir mengenai Islam yang dimuat dalam Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat. Sebagai tokoh Islam dimasa pergerakan, sama seperti tokoh pergerakan Islam lainnya, Natsir melihat kemajuan atau kemuduran Islam tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan doktrin Tauhid dan bagaimana mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Natsir bertindak sebagai reformis yang memberi interpretasi baru pada doktrin-doktrin keagamaan dan mengajak masyarakat memurnikan amalan-amalan Islam dari pengaruh luar. [2]

Bagi Natsir, bukan semata-mata sebagai agama saja, melainkan sebuah pandangan hidup yang mencakup masalah-masalah ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Islam juga menjadi inspirasi perjuangannya. Eksploitasi manusia atas manusia, memberantas kebodohan juga kemiskinan adalah hal yang harus diperjuangkan olehnya. Bagi Natsir Islam tidak memisahkan antara keagamaan dengan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah langkah menuju persatuan akbar bagi golongan tertindas, sedang Islam adalah yang pokok dalam kehidupan dan perjuangan. [3]

Natsir dimasa Pergerakan Nasional

Selama awal abad XX, sekolah-sekolah sekuler berkembang sebegitu rupa, semua tidak bukan untuk kepentingan kolonialisasi di Hindia—mencetak tenaga terdidik untuk duduk dalam kurdi birokrat kolonial. Pastinya sekolah yang ada bukan atas kemauan orang-orang pribumi—kecuali pribumi yang ingin duduk dalam birokirasi.

Beberapa kalangan yang prihatin dengan kondisi ini, memiliki cita-cita mengadakan sebuah sekolah yang sesuai dengan cita-cita golongannya. Golongan Islam dengan sekolah Islam-nya, mereka sudah ketinggalan dengan Zending dan Missi yang sudah bergerak lebih cepat. Golongan nasionalis, kemudian terwakili dalam Taman Siswa-nya Ki Hajar Dewantara. Hampir semua golongan-golongan tadi menginginkan sekolah yang tidak segaris dengan apa yang diinginkan pemerintah kolonial masa itu.

Keberadaan pendidikan alternative dimasa kolonial itu, pernah ditulis oleh Natsir: "Tjita-tita untuk mengadakan koordinasi atau persamaan rentjana peladjaran dalam perguruan-perguruan Islam jang bertebaran diseluruh negeri kita, jang didirikan atas kemuan rakjat itu, memang satu tjita-tjita jang bukan baru lagi." [4]

Rasanya Natsir dan beberapa tokoh lainnya menginginkan adanya lembaga pendidikan macam Sekolah Tinggi Islam, juga sebelumnya Taman Siswa sudah berdiri ketika Natsir menulis, meski perkembangannya selalu ditekan penguasa kolonial. Sekolah Tinggi Islam, adalah cita-cita Dr Satiman yang ditulisnya dalam Pedoman Masjarakat no 15. Rupanya sekolah yang ada, sebuah AMS milik Muhammadiyah di Batavia kala itu dinilai masih Westerch (kebaratan). [5]

Masalah pendidikan pribumi non pemerintah kolonial hampir selalu ditekan, apalagi lembaga pendidikan yang diasuh oleh kaum pergerakan. Onderwijs Commisie menyampaikan laporannya yang menyatakan ada 19.000.0000 anak yang tidak bersekolah lagi di Hindia Belanda. Krisis Ekonomi yang melanda dunia, di zaman Malaise itu—dikenal sebagai depresi dunia itu, membuat pemerintah tidak lagi mampu membangun sekolah-sekolah baru, jumlah sekolah justru makin dikurangi. Terpaksa, ribuan anak-anak pribumi tidak sekolah. Setiap tahun anggaran pendidikan untuk departemen Pengajaran dikurangi. Dari tahun 1930 sampai 1937, anggaran itu sudah dipotong sampai 53%. Dalam tulisannya mengenai kekecewaannya dengan kebijakan pendidikan pemerintah kolonial, Natsir menulis:

"Dimana-mana timbullah sebagai tjendawan sesudah hudjan, berpuluh, ja beratus-ratus sekolah partikelir. Menjambut anak-anak jang sedang terlantar dan jang diperebutkan oleh Zending dan Missi. Menjambut pula guru-guru dari pemerintah jang "overcomplete". Menjambut tamatan dari HIK. Pemerintah jang tidak dapat tempat dalam kalangan Pemerintah sendiri. Semuanja diselengarakan dengan amat susah pajah dalam kekurangan segala matjam….Menolong mengerdjakan sebagian daripada kewadjiban sutji dari Pemerintah Negeri. Bukankah dalam"Indische Staatsregeling" artikel 179 berkata: "Peladjaran umum adalah barang jang senantiasa berada dalam pemeliharaan dan pendjagaan Gobnor Djenderal." Artikel 182: "Gobnor Djenderal (harus) menjelenggarakan pendirian sekoalh-sekolah untuk rakjat Bumiputra." Kewajiban jang luhur inilah jang dibantu seberapa terkerdjakan oleh rakjat sendiri." [6]

Sambutan dari pemerintah atas pendidikan dari kaum pergerakan itu, tidak lain adalah Wilde Scholen-Ordonnantie atau Ordonansi sekolah liar. Betapa pemerintah kolonial berusaha menjegal kesadaran generasi baru pribumi dan mematikan generasi pergerakan yang berkembang. Padahal sekolah-sekolah swasta macam Taman Siswa tidaklah mendapat subsidi dari pemerintah, dengan alibi akan mengganggu ketertiban umum, pemerintah telah membunuh sekolah-sekolah itu pelan-pelan tanpa ampun, karena tidak sejalan dengan kepentingan kolonial sekolah-sekolah tadi dicap sebagai 'sekolah liar'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun