Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dari Ngak Ngik Nguk hingga Deg Deg Plas

28 September 2010   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:54 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Suatu hari dibulan Desember 1997, aku alami kejadian yang tidak akan aku lupa. Aku tidak dendam atas hal itu. Ayahku marah dan punggungku dipukul. Habis kejadian itu aku langsung kabur. Entah kemana aku lupa. Semua bermula dari keisenganku pada lagu-lagu zaman dulu yang nggak ada matinya.Satu-satunya hiburan dihunianku yang sempit waktu kecil hanyalah piringan hitam. ya, piringan hitam milik ayah. Entah bagaimana dulu ayah mendapatnya. Itu barang berharga miliknya. Ayah akan marah bila aku memutar lagu Speed King dari piringan hitam Deep Purple miliknya. Dia hampir memukulku waktu aku ketangkap basah sedang memutar lagu dari barang keramat itu. Sejak itu selama beberapa waktu itu aku tidak menyentuh barang hebat itu lagi.


Persetan dengan kawan-kawan yang merasa hebat dengan lagu Backstreet Boy. Gila, ada juga anak-laki-laki penggemar Boyband. Entahlah, aku belum pernah dengan Beatle’s, Queen atau barang kali Pink Floyd yang dibilang ayah sebagai band hebat. Aku lebih tertarik mencari tahu nama besar band Inggris itu. Diantara piringan hitam ayah, terdapat lagu-lagu Koes Plus—paling tidak sekitar sepuluh album pop dan tidak termasuk lagu-lagu Melayu maupun keroncong.


Aku pernah menonton di tiga film Beatles akhir Desember 1998. Aku tidak mengerti film itu. Hanya tergambar di kepalaku band itu selalu membuat para gadis zaman itu menjerit. Pernah juga aku dengar piringan hitam Beatles dilarang orde lama. Sukarno melarang lagu-lagu Beatles, Ngak Ngik Nguk katanya. Kata pendukung Sukarno zaman itu, lagu-lagu barat dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Negara rupanya berhak mengatur selera musik rakyat yang mereka tindas. Pemerintah waktu itu, seperti sering dihimbau dalam harian Rakyat milik PKI, masyarakat luas diminta menyerahkan piringan hitam Beatles atau musik barat lainnya secara sukarela. Rasanya tidak ada pemuda pecinta rock n roll yang rela menyerahkan piringan hitamnya.


Pemerintah orde lama paling paranoid soal musik, Koes Bersaudara harus masuk bui karena nekad membawakan lagu I Saw Her Standing There dalam sebuah acara. Dalam acara itu, sebuah keributan terjadi, atap di tempat konser dilempari batu oleh orang-orang yang katanya pendukung revolusi Sukarno yang anti kapitalis.


Anti rock n roll tidaklah lama di Indonesia. Politik Indonesia lalu menenggelamkan kekuasaan Sukarno. Bapak Pemimpin Besar Revolusi itu digulingkan secara merangkak oleh kekuatan siluman yang kemungkinan juga ada campir tangan asing. Kejatuhan Sukarno memberi nafas bagi berjayanya musik rock di Indonesia. Masa-masa kebangkitan rock Indoensia ini, Koes Plus merekam dan merilis Deg Deg Plas (1969). Album ini tidak terlalu sukses penjualannya, karena masyarakat saat itu belum bisa menerima lagu-lagu mereka. Beberapa lagu dalam album itu seperti Manis dan Sayang, Derita, Awan Hitam, Kembali Ke Jakarta, Cintamu Telah Berlalu adalah lagi-lalgu yang kemudian populer hingga saat ini. Takdir lagu itu harus mengalami penolakan terlebih dahulu sebelum publik bisa menerimanya.

Tentang Tonny

Tersebutlah seorang pemuda kelahiran Tuban 19 Januari 1936 bernama Koestono Koeswoyo, anak dari Koeswoyo pegawai negeri di Depertemen Dalam Negeri. Pemuda ini begitu tertarik pada musik rock n roll yang sedang mengila di barat sana. Tony Koeswoyo, begitu orang mengenalnya dalam sejarah musik pop Indonesia, lalu mengajak saudara-saudaranya yang laki-laki untuk membentuk band keluarga. Tony setidaknya pernah bermain band bersama kawan-kawannya dalam Teruna Moeda. Salah satu personilnya adalah Sopan Sophian—mantan fungsionaris PDI P dan anggota DPR.
Band keluarga itu kerap mendapat job menggung. Bayarannya mungkin tidak sebeerapa, namun mereka jelas senang bisa manggung. Mereka sering mengisi acara pesta dimana mereka pasti bisa makan gratis dalam pesta remaja itu.


Mereka juga menyambangi sebuah perusahaan rekaman. Bersama perusahaan rekaman itu, anak-anak Koeswoyo membuktikan diri sebagai musisi rock n roll. Nama besar yang terlibat dalam rekaman itu adalah Jack Lesmana, ayah Indra dan Mira Lesmana yang orang kenal sebagai musisi Jazz kesohor tanah air.


Bagi Tony Koeswoyo, musik adalah hidupnya, meskipun bukan sebagai mata pencarian yang menjanjikan pada awalnya. Tony sempat bekerja di Perkebunan Nusantara. Tony terus melangkah bersama Band-nya yang berubah nama dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus karena Nomo keluarga. Dua adik Tony, Yon dan Yok tetap bersamanya. Abang mereka Jhon, yang pernah ikut dalam Band belakang tidak ikut lagi. Jhon merelakan sebagian gajinya dipakai untuk membeli alat band. Jhon, seperti juga ibu mereka, sering menjadi sasaran omelan Koeswoyo yang tampak tidak rela anak-anaknya bermain band karena masa itu menjadi musisi tidak akan bisa hidup mapan.
Tony memimpin adik-adiknya dan anggota baru mereka Murry dalam Koes Plus. Band ini menjadi legenda musik Indoensia. Mereka berjaya di tahun 1970an dengan lagu mereka yang easy listening dan sederhana. Musik yang diusung Tony Koeswoyo bersama band dan saudaranya itu menjadi pelopor perkembangan musik pop setelah kejatuhan Soekarno.

Perjuangan Tony seperti menjadi perjuangan musik pop yang memang berbau barat berkembang di Indonesia. Tony dan saudara-saudaranya harus merasakan penjara karena kegilaan mereka ini. Meski Koes Plus tidak ngerock ditahun 1970an, mereka seperti menjadi pembuka lembaran baru bagi perkembangan musik rock tanah air lewat album Deg Deg Plas--yang dimata sebagaian pihak dianggap gagal dari sisi penjualan namun memiliki beberapa lagu pop dasyat yang selalu diaingat orang. Apapun musik yang diusung Tony Koeswoyo, sangat munafik menggeser namanya dari jajaran tokoh musik rock tanah air. Perjuangan Tony yang kerap mengusung lagu-lagu the Beatles diawal karir musik adalah usaha berani yang membuat mereka harus di bui di penjara Glodok.
Aku ingat lagi ditempat ayahku tinggal sekarang, piringan hitam Deg Deg Plas itu masih ada. Aku pernah memutarnya waktu SMP dulu. Lagu-lagu mereka tidak jelek dan masih nyaman didengar hingga sekarang.

Omongan kawan-kawan sekolahku kalau lagu lama, seperti juga lagu-lagu Koes Plus, adalah ketinggalan zaman hanya omong kosong mereka sebagai anak kecil yang hanya tahu yang terbaru adalah yang terbaik. Musik masalah selera, setiap penikmat musik punya ukuran sendiri mana musik yang bagus. Anak kecil hanya bisa bilang musik terkinalah yang terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun