Tulisan ini terinspirasi dari sebuah buku yang ditulis oleh Nick Couldry dan Ulises A Mejias, mereka adalah akademisi dari London School of economic dan State University of New York at Oswego. Â
Di jantung revolusi digital yang kita nikmati saat ini, tersembunyi sebuah paradoks besar. Kita hidup dalam era di mana kemudahan dan konektivitas seolah tak terbatas---semua hanya berjarak satu ketukan di layar. Namun, di balik kenyamanan yang diberikan oleh platform-platform raksasa seperti Google, Facebook, dan Amazon, sebuah pertanyaan penting mulai muncul: apa sebenarnya harga yang kita bayar untuk semua layanan "gratis" ini?Â
Buku "Data Grab: The New Colonialism of Big Tech and How to Fight Back" hadir sebagai jawaban yang mengejutkan, memaksa kita untuk mengoreksi pandangan dan menyadari realitas baru di balik tirai dunia digital.
Buku ini tidak sekadar mengkritik Big Tech (perusahan digital seperti Google, Amazon, dan lainnya), melainkan memperkenalkan sebuah konsep yang provokatif dan mendalam: kolonialisme data. Analogi ini menjadi gagasan sentral yang menggerakkan seluruh argumen. Jika di masa lalu, bangsa-bangsa kolonial merebut tanah, rempah-rempah, dan tenaga kerja dari wilayah jajahan untuk memperkaya diri, maka di era modern, perusahaan teknologi raksasa melakukan hal serupa terhadap data pribadi kita. Data, yang dulunya tidak dianggap berharga, kini menjadi "sumber daya alam" paling berharga di abad informasi ini. Ekstraksi masif ini terjadi tanpa kompensasi yang adil, sering kali tersembunyi di balik persetujuan layanan yang rumit, dan akhirnya menciptakan bentuk eksploitasi baru.
Perusahaan-perusahaan ini berargumen bahwa mereka memberikan layanan gratis sebagai pertukaran atas data. Namun, buku ini menunjukkan bahwa pertukaran tersebut tidaklah seimbang. Data pribadi pengguna dari seluruh dunia, terutama dari negara-negara berkembang, diekstraksi dan dianalisis untuk menciptakan algoritma dan model bisnis yang semakin menguntungkan Big Tech. Proses ini menciptakan ketergantungan digital dan ekonomi yang parah, di mana negara-negara berkembang secara efektif menjadi "ladang" data yang dijajah untuk memperkaya segelintir perusahaan di negara-negara maju. Ini adalah bentuk ketidakadilan global yang menggemakan kolonialisme tradisional, namun dengan cara yang jauh lebih halus, nyaris tak terlihat, dan sulit untuk disadari oleh masyarakat umum.
Namun, "Data Grab" bukanlah sekadar buku yang menyajikan diagnosis masalah. Buku ini menawarkan harapan dan serangkaian strategi perlawanan yang dapat diterapkan. Penulis menyerukan perlunya gerakan sipil digital yang menuntut regulasi yang lebih ketat dan perlindungan data yang kuat dari pemerintah. Gerakan ini harus berani menekan legislator untuk membuat undang-undang seperti GDPR yang komprehensif, yang memastikan perusahaan teknologi bertanggung jawab atas praktik pengumpulan data mereka. Kedua, buku ini menekankan pentingnya literasi data kritis. Masyarakat harus dibekali pengetahuan untuk memahami nilai data mereka, mengenali taktik pelacakan, dan membuat keputusan yang sadar tentang layanan digital yang mereka gunakan. Terakhir, ada ajakan untuk mendukung teknologi alternatif---yaitu, platform dan layanan yang dibangun di atas fondasi etika dan desentralisasi, yang secara fundamental menghargai privasi dan kedaulatan data penggunanya.
Kredibilitas buku ini diperkuat oleh latar belakang penulis yang kemungkinan besar merupakan seorang pakar akademis di bidang sosial, teknologi, atau politik. Analisis mereka tidak hanya didasarkan pada sentimen, tetapi juga didukung oleh data, penelitian historis, dan kerangka kerja teoretis yang kuat. Keahlian ini membuat argumen mereka sulit dibantah dan menjadikan buku ini rujukan penting bagi siapa pun yang ingin memahami dinamika kekuasaan yang kompleks di era digital.
Secara keseluruhan, "Data Grab" adalah sebuah lonceng peringatan yang tidak bisa diabaikan. Buku ini mengajarkan kita bahwa kita tidak boleh menjadi konsumen pasif, tetapi harus menjadi warga digital yang proaktif dan berdaulat. Dengan memahami masalah kolonialisme data dan menerapkan strategi perlawanan yang disarankan, kita dapat melangkah menuju masa depan digital yang lebih adil dan etis bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI