Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Ada Waktu Menelepon Bapak

23 Februari 2019   14:33 Diperbarui: 23 Februari 2019   15:08 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.vidio.com

Semakin sibuk, kadang kala melupakan pada sesuatu. Toh sebenarnya, aku tidak terlalu sibuk banget. Tetap saja lupa pada sesuatu hal yang paling berharga 'telepon bapak'. Terlalu sederhana, menelepon bapak bukan aktivitas yang mungkin penting.

Aku sendiri tinggal berjarak dengan bapak, setelah merantau ke Jakarta. Setelah menikah pun, semakin ada jarak dengan bapak. Sepertinya aku lupa untuk sekedar menelepon bapak. Kemudahan teknologi informasi, tak serta merta membuatku bisa leluasa menelepon bapak.

Waktu dulu sebelum ada banyak kemudahan, dua bulan sekali aku pulang ke Jogja. Naik kereta yang penuh sesak dan panas. Tidak menyurutkan niatku, pulang ke Jogja menjenguk bapak. Waktu itu pun, uang untuk pulang ke Jogja sangat pas-pasan. Hanya bisa untuk sekedar membeli tiket kereta seharga Rp 25.000,-

Sekarang, saat sudah ada uang, kesulitan itu datang begitu saja. Tanpa diundang, semuanya malah menjadi serba sulit, untuk menjenguk bapak di Jogja, kok rasanya berat banget. Waktu telah merampas sisa kenangan bersama bapak. Aku seperti lupa bahwa pernah digendong bapak waktu kecil. Aku melupakan, dulu pernah kencing di pangkuan bapak.

Berapa sih harga pulsa telepon? Sampai aku tidak menyempatkan waktu untuk menelepon bapak. Toh kini aku sekarang sudah menjadi seorang ayah. Seharusnya memahami, perasan seorang ayah yang dilupakan oleh anaknya.

Maka, malam itu aku menelepon bapak. Aku tanyakan kabarnya dan juga tentang sakitnya yang belum sembuh. Suara bapak semakin menua dan parau. Kadang batuk-batuk kecil menyela pembicaraan kami. Telepon malam itu, meskipun hanya bertemu lewat hp, cukup melegakan perasan bapak. Kerinduan pada anaknya cukup ter-obati.

Bapak-bapak kita, bukan se-onggok batu yang tanpa perasaan. Dia adalah manusia yang selalu rindu. Menunggu kapan anak-anaknya pulang. Kerinduan itu tidak diterjemahkan dengan bahasa apapun. Barangkali kita sudah angkuh, hingga untuk sekedar menelepon bapak saja sulit.

Aku pun sekarang telah menjadi seorang ayah. Kelak akan juga merasakan kerinduan yang sama. Saat anak-anak telah menjauh pergi. Saat anak-anak telah menemukan kehidupannya sendiri. Saat itu, aku pasti akan menunggu, saat anak-anak lupa menelepon. Dan, tentang kerinduan yang tak pernah selesai.

Bangka 3 A, No. 25

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun