Mohon tunggu...
Maryanto Abukhonsa
Maryanto Abukhonsa Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis

Guru di SMPN 2 Kepil Wonosobo Penulis beberapa buku Aktif menulis di blog sekolah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Marwah Guru, Refleksi Guru di Masa Pandemi

17 Maret 2021   10:18 Diperbarui: 17 Maret 2021   10:31 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Ceritanya dalam kamar ada empat lilin yang menyala, sedikit demi sedikit habis meleleh, suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka. Lilin pertama berkata: "Aku adalah Perubahan, namun manusia tak mampu berubah, maka lebih baik aku mematikan diriku saja!" Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam. Lilin kedua berkata: "Aku adalah Iman, sayang aku tak berguna lagi, manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala", begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: "Aku adalah Cinta, Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. 

Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya" Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga. Suasana menjadi semakin redup, tanpa terduga, seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: " Ehh apa yang terjadi?! Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!" Lalu ia menangis tersedu-sedu. 

Dengan terharu Lilin keempat berkata: "Jangan takut, janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya: Akulah harapan". Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, kemudian menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya, berpendar menjadi cahaya.

Menjadi cahaya yang terus berpendar, lilin yang tak pernah padam walau nyala apinya hanya temaram, tetapi bisa memberikan penerang dalam gelap, itulah filosofi dari Lilin Harapan. Itulah pesan bagi siapapun yang menjadi guru, bahwa sesungguhnya ia adalah harapan terakhir ketika yang lain jatuh berguguran. Yah, yang tidak pernah mati hanyalah harapan yang ada dalam hati kita, maka jangan lupa untuk selalu berdoa agar bisa menjadi guru harapan, guru yang menjadi dambaan anak didik, orangtua dan masyarakat. 

Minimal semoga kita dapat menjadi alat, seperti halnya sang anak tersebut, yang dalam situasi yang sulit bukan lari dan ikut bersembunyi, tetapi terpanggil untuk ikut menghidupkan kembali Iman, Cinta, dan Perubahan dengan Harapan! Di tangan guru ada harapan, di pikiran guru ada impian, di hati guru ada masa depan. Guru adalah aset bangsa yang tak ternilai karena hati guru selalu menyala dan terang, terlebih di masa pendemi ini guru harus hadir membawa harapan.

Harapan untuk menjadi salah satu lilin itu terasa berat bagi penulis, mengingat banyaknya kekurangan, mulai dari minimnya kemampuan diri, lemahnya motivasi dan rendahnya rasa peduli. Alhamdulillah, di SMPN 2 Kepil masih ada banyak lilin-lilin yang bisa menjadi pegangan dan menambah kekuatan untuk bertahan. Mungkin masih ada satu dua yang tergolong lilin pertama, lilin kedua atau lilin ketiga, tetapi tentang siapa-siapanya penulis tidak tahu. Yang justru penulis tahu adalah mereka yang menjadi lilin keempat, sang Lilin Harapan. 

Ada kepala sekolah (Bapak Hadi Wiyono, S.H., M.Pd.) yang visinya jauh ke depan, banyak ide dan kaya terobosan untuk tetap eksis dan tidak pernah berhenti berkarya membangun sekolah di berbagai lini walau di masa pandemi. Selanjutnya ada guru senior (Bapak Widodo, S.Pd.) yang selalu berangkat ke sekolah tidak peduli jadwalnya piket atau tidak, yang menurut beliau bahwa guru itu ya harus berangkat dan bertugas di sekolah. 

Ada juga yang guru yunior (Ibu Zulaikho Wahyu Utami, S.Pd) yang tidak pernah merasakan WFH, tiap hari berangkat dengan beban pekerjaan BOS yang tak pernah ada habisnya. Ada lagi staf Tata Usaha (Bapak Suronto) yang always ready dan always update berbagai aplikasi pendataan bagi guru dan sekolah sehingga sering menjadi rujukan pertanyaan dan konsultasi banyak admin dari berbagai sekolah. Adalagi pakar administrasi dan perangkat pembelajaran (Ibu Isti Supriyanti, S.Pd. dan Ibu Ruti Sumarni, M.Pd.) yang tak surut memberikan bimbingan dan pelatihan di sela-sela kegiatan pembelajaran. Serta beberapa guru senior maupun yunior lainnya dengan karya-karya inovasi baik dalam pembelajaran dan pelayanan kepada anak didik sehingga sekolah terlihat aktif dalam masa pandemi.

Masa pandemi seperti ini sepintas memang terlihat menguntungkan bagi guru, ini bagi mereka yang kurang peka, karena sesungguhnya di masyarakat posisi guru itu terhujat. Tidak sedikit orangtua yang mengeluhkan minimnya layanan pendidikan yang diberikan guru bagi anak-anak mereka. Guru yang tidak peka ini terlihat santai, jarang berangkat, berangkat siang tidak lama lalu pulang dan tidak peduli dengan gejolak yang terjadi di masyarakat. 

Inilah yang mungkin masuk kategori lilin pertama, kedua dan ketiga, yang sibuk dengan aktivitas baru yang sangat berbeda. Sangat berbeda dengan lilin keempat Lilin Harapan, mereka bekerja tanpa membatasi waktu, bahkan malam pun masih harus melanjutkan pekerjaan dan pelayanan. Mereka tidak berfikir untung rugi, apalagi sampai berfikir saya dapat apa, saya untung berapa. Ketika berkomunikasi dan konsultasi dengan mereka-mereka sang Lilin Harapan, serasa mendapat banyak ilmu, nasehat dan  pencerahan. 

Berikut ini beberapa kesimpulan yang dapat penulis rangkum, semoga bisa kembali sedikit membuka wawasan dan menyadarkan penulis khususnya dan semua guru pada umumnya terkait upaya menjaga dan mengembalikan marwah guru;

  1. Bersyukur, inilah rasa yang pertama kali harus ditanamkan, tentu bukan sekedar mengucapkan kata syukur. Tidak banyak yang berkesempatan bekerja sebagai guru, karena realitanya ada ribuan calon guru yang mengantri untuk profesi ini. Tentunya yang mesti lebih bersyukur adalah guru GTT atau negeri yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi, dan yang harus lebih bersyukur lagi adalah mereka yang berstatus guru negeri dan bersertifikasi. Ada banyak sekali alasan untuk tidak menafikkan karunia dan nikmat yang diberikan kepada guru. Syukur pertama karena guru masih tetap dapat bekerja dan mendapatkan gaji, disaat banyak orang menganggur dan tidak mempunyai penghasilan di masa pandemi ini. Syukur kedua adalah karunia sebagai guru, profesi mulia dan bisa menjadi jalan kebaikan, profesi yang didambakan ribuan calon guru lainnya. Syukur ketiga bahwa jumlah jam kerja yang tidak memberatkan hanya 24 jam dalam seminggu itupun sebagian dilakukan dengan BDR, bisa dibandingkan dengan yang diceritakan seorang guru saat mengajar di sekolah swasta dengan beban kerja 52 jam seminggu dan nyaris ada jam kosong, yang dengan jam segitupun angka gajinya jauh dibandingkan dengan PNS, apalagi PNS bersertifikasi. Nah, itu baru sebagian, belum hal-hal yang lainnya. Kurang apalagi, nikmat mana lagi yang kau dustakan?
  2. Motivasi, itulah rasa yang kedua yang harus kembali ditumbuhkan. Rasa yang saat ini tak jauh beda  antara motivasi belajar murid dan motivasi mengajar guru. Motivasi adalah ruh paling utama dalam proses belajar mengajar, di mana anak didik sangat perlu motivasi untuk belajar hal-hal baru yang akan bermanfaat bagi masa depan mereka. Demikian juga guru sangat perlu motivasi agar bisa ikhlas dalam mengajar, agar bisa mencurahkan perhatian dan kasih sayang dalam membimbing belajar anak didiknya. Guru tanpa motivasi tentu tidak akan bisa berbuat banyak, karena sejatinya seorang guru dihadirkan sebagai motivator untuk memberikan motivasi bagi anak didiknya. Motivasi itu yang akan menjadikan guru semangat mengabdi, semangat melakukan inovasi, semangat dalam belajar dan semangat dalam melayani.
  3. Peduli, inilah rasa yang ketiga yang harus dirawat dan disuburkan kembali. Disaat banyak orang dilanda rasa aman dan nyaman dengan situasi yang menguntungkan diri sendiri, maka rasa empati akan tumpul, rasa pedulinya memudar dan menjadi kurang peduli dengan keadaan yang terjadi. Kenikmatan, fasilitas dan kenyamanan telah mengubah kepribadiannya, merasa bahwa semua diperoleh karena jerih payahnya semata sehingga ia merasa berhak menikmati sepuasnya. Tidak sadar bahwa ada kewajiban yang harus ditunaikan, lupa bahwa ada orang lain yang membutuhkan perhatian, uluran tangan dan bantuannya. Peduli itulah yang membuat seorang guru di Madura mendatangi anak didiknya, peduli itu pula yang membuat seorang guru wali kelas meminjamkan Laptop dan Androidnya untuk mengerjakan soal PTS online kepada beberapa anak didiknya. Peduli itu juga yang hadir tatkala guru menghubungi siswa menanyakan kesulitan dalam belajar dan membantu memberikan penyelesaian. Intinya, jika ada kepedulian maka akan sangat banyak yang bisa dilakukan guru pada masa pendemi seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun