Mohon tunggu...
Marwita Three
Marwita Three Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Guru & Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Game Online, Remaja Kristen, dan Perasaan Superior yang Fiktif

12 November 2021   22:45 Diperbarui: 12 November 2021   22:48 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Anak-anak jaman sekarang terlahir di era teknologi digital, bermain komputer dan gadget merupakan hal yang umum terjadi. Sejak balita anak sudah terbiasa menggunakan gadget untuk bermain atau pun menonton youtube. Pemberian gadget sejak dini nampaknya menjadi cara instan yang dilakukan orang tua untuk menenangkan anak, mengisi waktu luang anak, dan mengalihkan anak agar tidak terlibat dalam aktivitas atau kesibukan orangtua. Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi membuat anak melupakan permainan-permainan yang tidak melibatkan gadget, terlebih dengan ketersediaan beragam game online yang semakin mudah diakses dan lebih memanjakan audio visual.

Pada awalnya game hanya menjadi hiburan untuk mengisi waktu senggang. Game online khususnya dapat menjadi sarana melatih komunikasi, kemampuan berbahasa inggris, dan meningkatkan imajinasi. Namun banyak dampak buruk yang terlihat ketika individu mulai kecanduan game online. Mereka menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk bermain game, yang pada akhirnya berpengaruh pada kesehatan fisik dan psikisnya. Pecandu game online menunjukkan kurangnya minat untuk berinteraksi secara langsung dengan orang lain, ketidakmampuan mengatur waktu dan prioritas, bahkan rela mengeluarkan sejumlah uang secara terus menerus untuk keperluan bermain game online.

  Perkembangan game online begitu beragam. Tersedia berbagai jenis permainan dimana para pemain dapat menciptakan tokoh atau karakter yang diinginkan dan memiliki kontrol atas suatu karakter di dalam game tersebut. Mereka memiliki kebebasan untuk membuat avatar atau karakter mereka sendiri mulai dari rambut, bentuk wajah, postur tubuh, bahkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki. 

Hal ini menjadi menarik mengingat para pemain game online didominasi oleh remaja, dimana pada usia tersebut individu berada dalam fase pecarian identitas atau jati diri. Setiap tokoh atau karakter yang mereka kembangkan di dalam             game bisa jadi merupakan gambaran diri ideal yang sebenarnya mereka inginkan. Dalam game pun para pemain dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga gambar diri yang ideal tersebut merupakan hasil dari proses saling mempengaruhi yang terjadi di dalam komunitas game online.

Carl Rogers mengungkapkan tentang adanya konsep diri ideal dan konsep diri real. Konsep diri ideal ialah persepsi individu tentang dirinya sebagaimana individu tersebut menginginkannya, baik secara fisik maupun psikologis. Konsep diri real ialah persepsi individu tentang dirinya sebagaimana yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Bisa jadi,
 
konsep diri ideal dan konsep diri real tidak jauh berbeda atau malah sebaliknya. Perbedaan yang terjadi di antara kedua konsep diri ini disebut Rogers sebagai kesenjangan.

Remaja yang mengalami kecanduan game online menunjukkan perilaku yang kurang peduli pada lingkungan di sekitarnya, kurangnya minat berinteraksi secara langsung dengan orang lain, bahkan mengurangi produktifitas mereka dalam menjalankan peran di kehidupan nyata. Bila dibandingkan dengan keaktifan dan kreativitas mereka dalam game online, dapat diasumsikan bahwa terdapat kesenjangan antara konsep diri real dengan konsep diri ideal pada remaja dan game online menjadi sesuatu yang dianggap tepat untuk mengisi kesenjangan tersebut.

Alfred Adler juga mengungkapkan tentang perasaan inferior yaitu perasaan lemah baik secara fisik, psikologis dan sosial, juga merasa tidak terampil dalam menghadapi tugas yang harus diselesaikan. 

Orang-orang mengatasi perasaan inferior dengan mengkompensasikan kelemahannya pada aktivitas atau gaya hidup tertentu untuk mencapai kesempurnaan atau superioritas. 

Game online menjadi salah satu contoh kompensasi untuk orang-orang yang merasa inferior. Menjadi pelarian dari realita hidup yang membosankan, hubungan yang tidak harmonis dengan orang-orang di sekitar, dan perasaan tidak mampu menjalankan peran atau fungsi dalam kehidupan nyata. 

Bermain game online memungkinkan mereka menjalin komunikasi dan interaksi yang lebih baik dan menyenangkan dengan orang-orang yang dianggap memiliki minat yang sama, mereka pun tertantang untuk mencapai level demi level dalam permainan, mengembangkan kreativitas dan kemampuan mereka menyusun strategi, dan mendekatkan mereka dengan perasaan superior.

              Namun pada orang-orang yang mengalami kecanduan game online, mereka menunjukkan kurangnya minat sosial. Sementara menurut Alfred Adler, minat sosial membuat orang mampu berjuang mengejar superioritas dengan cara yang lebih sehat dan adaptif. Sehingga dapat dikatakan kecanduan game online merupakan kompensasi yang maladaptif yang memberikan perasaan superior hanya ketika individu tersebut melakukannya terus menerus, tujuannya hanya berupa fiksi yang tidak dapat terealisasi, sementara dalam kehidupan nyata mereka tetap berada pada perasaan inferior.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun