Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Tanpa Tujuan: Akhir dari Sebuah Peradaban

17 Januari 2021   11:01 Diperbarui: 17 Januari 2021   11:12 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kesuksesan adalah mengetahui tujuan hidup Anda, bertumbuh untuk meraih potensi tertinggi Anda, dan menabur benih yang menguntungkan orang lain," demikianlah Maxwell mencoba mendefinisikan arti kesuksesan. 

Yang menarik dari definisi yang dikembangkan ini adalah adanya tiga kata kunci penting sebagai pilar kesuksesan, yakni: tujuan, potensi, dan benih. Uniknya, dalam definisi itu tidak ada kata "berhasil" atau "hasil", padahal biasanya ketika orang mendefinisikan kesuksesan erat kaitannya dengan hasil akhir atau berhasil akan sesuatu hal.

Rupanya kesuksesan adalah sebuah proses yang tertanam dalam habitus positif untuk selalu mengembangkan diri. Ketika kesuksesan diletakkan sebagai hasil, bisa jadi orang yang sukses akan berhenti pada hasil yang memukau dan memuaskan dirinya serta mengesankan bagi orang lain. 

Celakanya, hidup terus berjalan dan dunia terus berkembang sehingga kesuksesan adalah bukan sebuah keabadian sebagai hasil akhir. Banyak kisah orang yang berhasil dan berjaya, dalam hitungan waktu bisa hancur berantakan kejayaannya. Ketika kesuksesan diletakkan sebagai habitus positif, maka dalam keadaan apapun dan diguncang situasi dunia seperti apapun, orang dapat tetap sukses dengan semangatnya untuk selalu berkembang dan berjuang.

Kesuksesan sebagai sebuah proses sangatlah dinamis dalam setiap aktivitas manusia. Henry Ford sukses bukan karena dia bisa memproduksi mobil masal dengan harga yang murah pada waktu itu lewat Ford Motor Company. Tetapi, Ford dikatakan sukses karena proses hidup yang panjang dan gigih dalam menciptakan dan memproduksi mobil masal. Kesuksesan Ford berawal dari impiannya yang bertumbuh dari ketertarikannya pada semua hal yang bersifat mekanis. Sejak kecil ia sangat tertarik untuk mempelajari dan mengutak-atik mesin, sehingga secara otodidak ia mempelajari mesin uap, jam, dan mesin pembakaran. Ia pun menjadi montir dan tukang jam, bahkan bekerja sebagai insinyur di Detroit Edison Company pada malam hari. Perjuangannya sangat gigih untuk mempelajari mesin.

Akhirnya, dia memiliki tujuan sekaligus impiannya untuk menciptakan mobil yang tidak mahal dan bisa diproduksi masal. Pada waktu itu (1900-an) mobil adalah barang yang sangat mahal, hanya orang kaya yang sanggup membelinya. Orang masih biasa menggunakan kereta yang ditarik kuda. Ford bertekad agar mobil buatannya dapat dimiliki oleh orang biasa.

Tujuan hidupnya tentang mobil itu sangat didukung dengan potensi Ford berkaitan dengan mesin dan kegigihannya untuk terus belajar. Akhirnya Ford dapat dikatakan sukses karena dia mampu mengetahui tujuan hidupnya dengan mengusahakan mobil masal dan murah, bertumbuh untuk meraih potensi tertingginya lewat ketekunan dan kegigihannya belajar tentang mesin, dan menabur benih yang menguntungkan orang lain dengan membuat orang lain merasakan kemudahan dalam beraktivitas dengan menggunakan mobil daripada kereta kuda. Inilah belajar sukses melalui perjuangan hidup Ford.

Jelaslah bahwa impian dapat melahirkan tujuan hidup yang jelas sehingga kita dapat mengembangkan potensi yang ada untuk kepentingan orang banyak. Kesuksesan bukan semata-mata berdampak pada diri sendiri, namun kesuksesan justru harus berdampak pada kebutuhan dan kepentingan orang lain. Keluarga yang sukses berarti keluarga yang tahu tujuan komunitas keluarganya dengan mengembangkan segala potensi yang ada sehingga berdaya guna bagi orang lain (masyarakat).

Demikian pula sekolah yang sukses adalah sekolah yang tahu tujuan pendidikan yang benar dan dihidupi oleh seluruh stakeholder pendidikan (pejabat, guru, murid, dan orang tua) secara berkesinambungan dengan mengembangkan segala potensi yang ada bukan sekadar melaksanakan instruksi dan berdaya guna bagi masyarakat luas. Sekolah yang sukses bukan sekolah semata-mata muridnya banyak, bangunannya bagus, dan nilai ujiannya juga bagus.

Banyak sekolah yang dikatakan favorit dengan kriteria tersebut namun sesungguhnya miskin dan renta dalam habitus positif di dalamnya. Bangunan sekolah bagus dan megah, namun habitus guru dan siswanya hanya semata-mata relasi formalitas yang tidak mendalam dalam semangat persaudaraan dan kekeluargaan. 

Ada sekolah yang muridnya banyak namun sesungguhnya kualitasnya tidak sebanding dengan kuantitas. Bisa mendapat murid banyak karena daya tarik nilai akademik yang baik dan bangunan yang bagus, namun ada sisi non akademik yang negatif kadang tidak terlihat, seperti perilaku misuh para siswa, bullying, egoisme, kebiasaan menyontek, plagiat dalam berbagai tugas, dan rendahnya budaya baca-tulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun