Mohon tunggu...
Don Martino
Don Martino Mohon Tunggu... Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kitab Hukum Kanonik 1983 dan Panggilan Pelayanan dalam Liturgi

4 Oktober 2025   10:07 Diperbarui: 4 Oktober 2025   10:07 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Dokumen Pribadi)

Pendahuluan: Liturgi, Jantung Kehidupan Gereja

Liturgi adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja. Dari liturgi, umat beriman menerima rahmat, dan kepada Allah melalui liturgi umat mengarahkan seluruh karya pelayanan. Dalam liturgi kita tidak hanya menjalankan ritus, melainkan mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus sendiri.

Yesus memberi teladan yang jelas: "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan hidup-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45). Maka, setiap pelayanan liturgi, baik imam maupun awam, tidak boleh dipandang sebagai "kehormatan sosial" atau "panggung tampil". Pelayanan liturgi adalah munus---tugas suci, perutusan yang berakar dalam baptisan.

Konsili Vatikan II mengingatkan: "Semua orang beriman mengambil bagian dalam imamat Kristus melalui baptisan" (LG 10). Artinya, dasar pelayanan bukanlah status sosial, melainkan rahmat baptisan yang memanggil kita untuk melayani. Codex Iuris Canonici atau yang kita kenal dengan nama Kitab Hukum Gereja (KHK 1983) menegaskan hal yang sama: Di antara semua orang beriman kristiani, yakni berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka semua sesuai dengan kedudukan khas dan tugas masing-masing, bekerjasama membangun Tubuh Kristus (Kanon 208). Artinya bahwa semua orang beriman sejajar dalam martabat meski berbeda fungsi dan tugas.

Hak Umat dalam Liturgi

Hukum Gereja memberikan jaminan bahwa setiap umat berhak atas liturgi yang benar, sah, dan bermartabat. Ada tiga hak utama yang patut disoroti:

  1. Hak menerima Sabda dan Sakramen
    KHK 1983 Kan. 213 menyebut: "Adalah hak kaum beriman kristiani untuk menerima dari para Gembala suci bantuan yang berasal dari harta rohani Gereja, terutama dari sabda Allah dan sakramen-sakramen.".  Dalam praktik, umat berhak atas homili yang benar, perayaan Ekaristi yang sah, dan pelayanan sakramen tanpa diskriminasi. Misalnya, tidak boleh ada umat yang ditolak menerima komuni hanya karena alasan non-liturgis (contoh: karena berasal dari kampung lain, tidak memakai alas kaki, atau lawan politik pastor paroki he..he..he).
  2. Hak berpartisipasi dalam liturgi Gereja
    Kanon 214 menegaskan hak umat untuk menyembah Allah sesuai tata cara liturgi yang sah sesuai ketentuan ritus masing-masing yang telah disetujui oleh para Gembala Gereja yang legitim. Maka, umat berhak atas liturgi yang utuh, nyanyian resmi, serta ritus yang sesuai buku. Umat juga berhak menolak "liturgi improvisasi" yang diciptakan imam atau pelayan hanya demi kepraktisan atau "biar lebih singkat".
  3. Hak menyampaikan pendapat demi kebaikan Gereja
    Kanon 212 3 menyatakan: umat boleh menyampaikan pendapat kepada para gembala tentang hal-hal yang menyangkut kebaikan Gereja. Dalam praktik, umat boleh menegur dengan hormat bila ada penyimpangan liturgis, misalnya penggunaan lagu-lagu sekuler dalam misa atau homili yang menyimpang dari ajaran Gereja.

Namun, hak-hak ini bukan tanpa batas. Kanon 223 mengingatkan: hak umat dibatasi demi kebaikan umum Gereja dan martabat liturgi.

 

Kewajiban Pelayan Liturgi

Hak selalu berjalan seiring kewajiban. Bagi pelayan liturgi, kewajiban utama antara lain:

  1. Menjaga kesatuan dengan Gereja
    Kanon 209 menegaskan bahwa setiap orang beriman wajib menjaga kesatuan dengan Gereja dalam perkataan dan perbuatan. Maka, pelayan liturgi tidak boleh menolak norma Gereja atau menganggap diri "lebih tahu" dari kitab liturgi resmi.
  2. Menggunakan ritus resmi Gereja
    Kanon 846 1 menyatakan: "Dalam merayakan sakramen, hendaknya buku liturgi yang disahkan hendaknya ditaati dengan setia; tidak seorang pun boleh menambahkan, mengurangi, atau mengubah sesuatu di dalamnya atas kemauannya sendiri."
    Ini berarti imam tidak boleh mengubah doa konsekrasi, lektor tidak boleh mengganti bacaan Kitab Suci dengan parafrasa, dan organis tidak boleh memasukkan lagu hiburan ke dalam misa.
  3. Menghayati hidup kudus dan pantas
    Kanon 210 menekankan bahwa semua orang beriman wajib mengejar kekudusan. Pelayanan liturgi harus mencerminkan hidup yang sesuai dengan iman. Seorang prodiakon yang hidup dalam skandal publik, misalnya, justru melukai iman umat.
  4. Mendukung karya Gereja
    Kanon 222 menekankan kewajiban mendukung kebutuhan material dan amal Gereja. Dalam liturgi, ini berarti pelayan koor, misdinar, atau lektor tidak sekadar "datang tampil", melainkan ikut mendukung penyelenggaraan liturgi secara penuh tanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun