Sebenarnya penulis tidak terlalu suka menulis opini ini, namun daripada menggumpal dalam hati, lebih baik disalurkan dengan cara ini.
Nampaknya ada kebiasaan orang untuk terlalu cepat meminta maaf, kemudian melakukan hal yang sama lagi.Â
Begitu lah terlihat pada tokoh satu ini. Kalau dilihat tweet - tweet yang selalu ditulisnya, kadang-kadang penulis ragu apakah tepat jabatan yang sekarang disandangnya. Lebih cocok kalau dia langsung terjun ke politik atau bahkan mungkin lebih pas dia menjadi salah seorang penulis di Kompasiana ini. Sekurangnya, opininya bisa lebih tersalurkan dengan cara terstruktur.
Bukan hanya kali ini dia minta maaf pada hoax dan fitnah yang pernah ia lakukan. Bahkan sudah 2 kali dilaporkan karena ulahnya ini.Â
Namun rupanya itu tidak membuat nya jera. Setelah lancarkan fitnah dan hoax dengan gampang meminta maaf. Seolah dia sudah punya rumus paten: hoax -- maaf, fitnah -- maaf.
Sebenarnya orang yang meminta maaf adalah mereka  yang punya kerendahan hati dan kebesaran jiwa. Namun itu kalau ada usaha untuk memperbaiki.Â
Penyesalan dan minta maaf mengandaikan adanya tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika maaf kemudian dengan gampang melakukan kesalahan yang sama lagi, maka ungkapan maaf itu hanyalah pemanis bibir belaka, tidak punya arti apa - apa.
Kembali ke kasus orang ini, jelas apa yang dia sebarkan sudah menuai masalah. Fitnah yang ia ucapkan sudah menjadi referensi untuk pemfitnah lain. Kata - kata itu memang ibarat anak panah yang sudah di lepaskan, tidak bisa ditangkap lagi.Â
Penulis hampir yakin, maaf yang saat ini telah diucapkan tidak akan menjamin kesalahan yang sama tidak dilakukan lagi. Ada pepatah yang mengatakan, Watuk ada obatnya, tapi watak sulit disembuhkan.***MG