Pemerintah Kota Cilegon mengambil kebijakan untuk memangkas anggaran sosial dan dana hibah yang sebelumnya dialokasikan pada sejumlah institusi keagamaan mulai tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi penghematan anggaran daerah yang mengikuti instruksi dari pemerintah pusat. Dampaknya dirasakan oleh berbagai lembaga, antara lain yayasan pendidikan, madrasah, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Anggaran hibah untuk MUI, tahun lalu menerima Rp700 juta, namun tahun ini hanya Rp500 juta. Hal serupa juga terjadi pada Baznas, yang tahun sebelumnya menerima Rp700 juta dan kini hanya mendapat Rp500 juta. Rahmatullah, selaku Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat di Sekretariat Daerah Kota Cilegon, menyampaikan bahwa langkah ini bertujuan untuk menata kembali belanja hibah dan bansos agar lebih tepat sasaran dan efisien. Pernyataan ini disampaikan dalam laporan yang dirilis iNews Pandeglang pada Selasa, 3 Juni 2025.
Kendati terjadi pemotongan anggaran, pemerintah daerah menegaskan komitmennya untuk tetap mendukung kegiatan keagamaan di Cilegon, namun dengan tata kelola anggaran yang lebih tertib. Kebijakan ini juga mencakup serangkaian langkah efisiensi lain yang telah dijalankan, termasuk penarikan puluhan unit kendaraan dinas yang tidak lagi layak digunakan untuk kemudian dilelang. Upaya ini mewujudkan nyata pengelolaan keuangan daerah yang lebih akuntabel dan hemat.
Di sisi lain, kebijakan ini sebenarnya bisa membawa dampak positif, karena pengurangan anggaran memungkinkan pemerintah mengalihkan dana ke sektor yang lebih mendesak seperti infrastruktur dasar atau pelayanan kesehatan. Selain itu, langkah ini juga membuka ruang untuk pengawasan yang lebih ketat atas penggunaan dana hibah dan bantuan sosial, yang selama ini kerap dinilai rawan penyimpangan. Pemerintah bisa lebih fokus membiayai program-program yang memberikan manfaat nyata kepada masyarakat, bukan hanya berdasarkan kedekatan hubungan atau formalitas organisasi.
Namun demikian, pemangkasan ini turut menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama mengenai keberlangsungan aktivitas sosial dan keagamaan yang selama ini bergantung pada bantuan tersebut. Diperlukannya komunikasi yang baik antara pihak pemerintah dan lembaga terkait agar pelayanan masyarakat tetap berjalan optimal meski dengan dana yang terbatas. Tanpa keterlibatan aktif para tokoh agama dan pengurus organisasi, kebijakan ini dapat menimbulkan resistensi atau ketidakpuasan, terutama jika mereka merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI