Mohon tunggu...
Mariani Sutanto
Mariani Sutanto Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog yang berkecimpung dalam parenting, perkembangan anak hingga remaja, dan eksplorasi diri.

Lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar (Ibu Teresa)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"The Foreigner": Cinta Seorang Ayah

8 Oktober 2017   16:13 Diperbarui: 9 Oktober 2017   22:06 1882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film di bioskop: Dok. Pribadi

Laga aksi dalam film ini, bagi saya, sesungguhnya hanya sebuah cangkang berlapis yang membalut inti terdalam pada diri seseorang: cinta.

Lapisan terluar adalah adegan seorang ayah mengantarkan putrinya ke sebuah acara. Percakapan ringan dan mimik wajah mereka menunjukkan kedekatan hubungan ayah-anak. Tampak jelas bagaimana mereka menjalin kasih sayang melalui pandangan mata dan keinginan sang ayah untuk memarkir mobil dan turun mengantar putrinya masuk ke dalam.

Namun apa lacur, saat sang ayah kembali melajukan mobilnya, kendaraannya bertabrakan dengan sebuah mobil yang tiba-tiba mundur, dan kemudian terjadilah ledakan dahsyat itu. Terlempar cukup jauh, sang ayah ini pun tertatih-tatih berjalan menghampiri gedung yang luluh lantak oleh bom. Ke gedung itulah putrinya tadi masuk. Saat ditemukan, putrinya sudah tak bernyawa.

Lapisan berikutnya adalah pengambilan gambar yang memperlihatkan kesedihan mendalam sang ayah atas kematian putrinya. Kesedihan ini tidak didiamkannya, melainkan ia wujudkan melalui upaya panjang untuk mencari tahu siapa orang yang tanpa perasaan telah menghilangkan nyawa  putrinya dengan bom. Usahanya ke sana dan ke mari tak membuahkan hasil, karena tak seorang pun peduli pada jeritan hatinya. Apalagi, ia masih dianggap orang asing di London.

Ketika usahanya tidak juga membuahkan hasil, maka sang ayah (Quan) memutuskan untuk menyelidikinya sendiri. Keputusannya ini yang membawanya bersinggungan hidup dengan Wakil Perdana Menteri Inggris dan menyingkap habis sindikat yang berusaha “menghabisi” Inggris dengan melakukan peledakan bom di mana-mana. Di akhir cerita, Quan berhasil menemukan nama orang yang dicari dan menuntaskan kesedihannya di sana.

Film ini menjalin jalan cerita dalam tempo cepat. Ada baiknya jika penonton paham latar belakang semua peristiwa dalam film ini, yakni ketika Inggris dan Irlandia bergejolak dan diplomasi perdamaian berkali-kali harus menemui jalan buntu. Namun, seandainya tanpa bekal pemahaman ini pun, penonton akan dituntun untuk sedikit demi sedikit memahami intrik-intrik politik yang menjalin kisah dalam film ini menjadi sebuah kisah menawan. Ramuan antara kehangatan keluarga da intrik politik tingkat tinggi membuat film ini layak menjadi bahan permenungan pribadi. 

Kehangatan keluarga yang dimunculkan di sini bukan dalam adegan keluarga lengkap melainkan dalam adegan sebelah sisi. Sejak semula film tak memunculkan sosok ibu, tetapi sangat menonjolkan sosok ayah. Ini sedikit berbeda dengan budaya Timur di mana anak biasanya lebih lekat dengan ibu daripada dengan ayah. Dengan halus, penonton diajak untuk samar-samar mengharapkan datangnya sosok ibu saat sang ayah pulang setelah kehilangan putrinya. Namun sosok ibu tak juga muncul, dan penonton tanpa sadar  mencari-cari sosok ibu. Terlepas dari ketiadaan sosok ibu, kehangatan relasi ayah-anak ini memberi warna tersendiri untuk keluarga. Dari percakapan ayah-anak di mobil sebelum mencapai gedung di hari naas itu terlihat bahwa mereka berbagi hidup, bukan menjalankan keberadaan sebagai ayah dan sebagai anak secara formalitas saja. Hidup sang ayah adalah hidup anaknya, dan demikian pula sebaliknya. Seakan flm ini ingin menguarkan nuansa kebersamaan sebuah keluarga yang saat ini sudah diselamurkan oleh mengutamakan kepentingan diri sendiri. Ketika cerita berlanjut da muncullah hantu masa lalu Quan ketika ia kehilangan anak-anak dan istrinya, barulah penonton memahami kenapa Quan sangat ingin pelaku peledakan bom itu mendapat hukuman yang setimpal. Dari sini penonton tahu bahwa tak mudah bagi Quan membesarkan anak gadisya seorang diri, namun Quan memilih untuk mengelola kesedihan dan kepahitan hidupnya, sehingga putrinya mendapatkan curahan cinta yang segar. Dan ketika relasi ayah-anak ini yang sedang hangat-hangatnya itu terenggut dengan cara seperti itu, maka wajar jika Quan mengalami kesedihan yang amat dalam. Cinta ayah yang terkoyak ini menjadi salah satu "angle"  yang menjadikan film ini bukan hanya laga aksi tetapi juga sarat dengan emosi manusiawi. 

Genre laga aksi yang dijadikan tema utama film ini sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa kaum lelaki punya cara sendiri untuk mewujudkan keinginannya, tanpa kehilangan nurani. Laki-laki kebanyakan bertindak berdasarkan data, dan itu yang diperlihatkan dalam film ini, bagaimana “big data” itu digunakan semaksimal mungkin, baik untuk menemukan siapa sesungguhnya Quan, bagaimana merakit bom dengan daya ledak yang dahsyat, dan bagaimana menemukan rangkaian sepak terjak sindikat rahasia, serta bagaimana mengungkap data teroris.

Cinta dalam film ini terbungkus rapi dan terkuak secara sistematis, membuka sisi gelap dan sisi baiknya. Film ini diakhiri dengan pulangnya Quan ke lingkungan terdekatnya dan cinta itu dirayakan dengan pelukan. Dalam hidup ini, kita selalu rindu untuk pulang, dalam arti kiasan maupun dalam arti yang sebenarnya. Pulang ke kota tempat kita dibesarkan, pulang ke keluarga yang menanti kita dengan penuh harap, pulang ke orang-orang yang mengenal diri kita apa adanya, dan pulang ke diri kita sendiri—menemukan diri yang adakalanya lupa kita perhatikan jeritan dan keinginannya.

        The Foreigner, rock you!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun