Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kencangkan Ikat Pinggang Demi Bayar Listrik, Mengapa Tidak?

3 Juli 2017   09:00 Diperbarui: 3 Juli 2017   20:41 1862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dreamstime.com

Jauh sebelum subsidi listrik dicabut, saya terbiasa hanya menyalakan TV ketika ingin menonton saja. Untuk melihat kecantikan Najwa Shihab atau sekedar ketawa-ketiwi melihat ulah Sule, selebihnya saya matikan. Berita bisa dilihat dari timeline twitter yang menyajikan berita lebih cepat dibanding stasiun TV nasional. Bahkan membuka Kompasiana lebih mengasyikkan karena beritanya sudah dibumbui opini. ^^

2. Pakai lampu hemat energi

Nah nampaknya sekarang justru sulit menemukan bohlam jadul nan boros energi. Semua sudah hemat energi, silakan pilih sesuai kocek. Ada merk terkenal yang tidak memberikan garansi, dan merk  "baru terdengar" yang umumnya memberi jaminan 1 tahun.

3. Matikan lampu teras pagi-pagi

Kini bahkan saya melakukan tindakan ekstrim mematikan lampu ruangan tengah yang kosong. Untuk penerangan, cukup membuka jendela dan pintu lebar-lebar. Selain hemat energi, udara segarpun masuk.

4. Cabut steker

Nah ini saya sering lupa. Seusai memakai mixer, blender, charger ponsel biasanya lupa melepaskan dengan sambungan stop kontak. Padahal pada tahun 2011 saya sudah pernah menulis tentang vampire listrik yang mampu menyedot 10 % dari total konsumsi rumah tangga. Atau artinya walau tidak dipakai tapi listrik tetap mengalir dan terbuang percuma.

Itu sebabnya keluarga yang hendak berlibur dan meninggalkan rumah dalam waktu lama, harus mencabut setiap sambungan listrik (kecuali lemari es), jika tidak ingin rumahnya sudah berubah jadi abu ketika pulang. (sumber)

energi yang bisa dihemat hanya dengan mencabut steker (sumber kementerian ESDM)
energi yang bisa dihemat hanya dengan mencabut steker (sumber kementerian ESDM)
Jadi, sebelum menghemat listrik, rasanya tidak elok marah-marah pada pemerintah. Terlebih uang subsidi yang dicabut (dari orang yang mampu), dialokasikan untuk menggenjot  rasio elektrifikasi. Pada tahun 2011 ketika membuat tulisan di atas, Indonesia baru bisa mensuplai listrik bagi 67,15 % rakyatnya. Sisanya yang 32,85 % harus hidup dalam gelap gulita.

Kasihan ngga sih? Ibu yang melahirkan anaknya harus menerima nasib menggunakan cempor.  Bagaimana jika ternyata harus operasi caesar? Entahlah. Demikian anak-anak yang mendapat tugas mengerjakan PR dan menghapal pelajaran. Ah, sungguh kita-kita  yang hidup di perkotaan Jawa- Bali telah dianak-emaskan.

Namun sesuai janji Jokowi untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Pada akhir tahun 2016, pemerintah sudah berhasil mencapai angka 91,15 %. Rata-rata kenaikan 4,75% per tahun ini merupakan rata-rata kenaikan tertinggi. Sebelumnya  tahun 2010 rata-rata kenaikan rasio elektrifikasi hanya sekitar 0,7 - 0,8 % per tahun. Prestasi bukan sih? Prestasi dong ya? Yuk, standing applause untuk beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun