Mohon tunggu...
@mar.dov
@mar.dov Mohon Tunggu... Lainnya - Juru ketik

Mengetik untuk menggelitik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makanan dan Kebahagiaan

31 Desember 2020   21:46 Diperbarui: 31 Desember 2020   21:49 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dendeng kiriman dari kampung. Sumber kebagiaan kami di setiap awal bulan (Gambar dokumentasi pribadi)

Ada sebuah anekdot yang sering saya dengar tentang orang Padang. Katanya, jika orang Padang diterbangkan ke bulan, maka di sana pula ia akan membuka rumah makan. Gurauan ini mungkin hendak menunjukkan betapa orang Padang gemar berdagang. Namun, bagi saya pribadi yang tumbuh dan besar di ranah Minang, ini menggambarkan kelekatan orang Padang pada makanan. Makanan bagi kami bukan sekadar pemuas rasa lapar, namun juga sebagai alat komunikasi dan ekspresi rasa syukur dan bahagia. Makanan adalah sumber keceriaan dan keakraban antar sanak saudara begitu pula dengan kenalan: jauh maupun dekat.

Bahagia tamu dan kerabat datang, kami akan suguhi dengan beraneka ragam makanan. Bahagia menyambut bulan Ramadhan, kami akan kirimkan berantang-rantang makanan baik ke sanak saudara maupun untuk menyantuni mereka yang papa. Bahagia hendak menaiki rumah baru, kami undanglah orang sekampung untuk makan dan turut merayakan. Bersuka cita karena anak diwisuda, kami sembelihlah kambing untuk lalu dibagikan ke anak yatim. Mau bermenantu, kelahiran cucu, berangkat haji, untung besar sehabis menjual tanah, semua wajib dirayakan dan semua wajib makan. Oleh karenanya tak heran bila diantara para perantau muncullah nasihat agar mereka melapang-lapangkan perut sekalinya pulang ke kampung. Setiap rumah yang dimasuki berarti satu piring nasi beserta lauk pauk sudah menanti. Demikianlah, dengan berbagi makanan orang saling berbagi kebahagiaan dan menjalin keakraban. 

Orang Jawa bilang: "mangan ora mangan kumpul". Biarlah tidak makan, yang penting bisa bersama. Bagi kami di Minang, setiap kumpul-kumpul, ya wajib makan. Tidak harus makan serba mewah dan wah. Yang penting ada. Jika tidak ada? Diakali supaya ada. Mengikut kata pepatah: "Indak ado kayu, janjang dikapiang". Jika tidak punya kayu, potonglah tangga rumahmu. Dengan kata lain, jika tidak ada uang untuk menjamu, pecahkan celengan atau juallah perhiasan. Berkumpul itu penting, yang tak kalah penting juga yakni: hidangannya. Mau yang datang itu pejabat tinggi atau orang biasa, yang namanya hidangan wajib tersedia di atas meja.

Orang bilang cinta datang dari mata, turun ke hati. Namun, kami percaya cinta itu berawal dari lidah, turun ke perut, lanjut mengendap di hati. Lewat makanan inilah kami mendekatkan yang jauh, dan makin merapatkan yang sudah dekat. Makanan selain mempererat silaturrahmi, juga bisa menjadi alat diplomasi.  Perselisihan antara dua orang dapat terselesaikan jika salah satu pihak berinisiatif memberi sepiring makanan untuk pihak lainnya. Begitu masakan yang lezat itu sampai ke perut pihak kedua, perselisihan itu terlupakan sudah. Inilah yang pernah terjadi dengan seorang saudara. Tadinya, mertuanya enggan kepadanya karena 'katanya' orang Padang tidak bisa dipercaya, tukang maling semua. Ketika mertuanya itu sakit, ia pun memasakkan makanan lezat-lezat untuk dikirimkan kepada si mertua. Begitu mertuanya sembuh, hubungan antara mertua dan menantu itu pun membaik. Demikianlah, di samping membuat perut kenyang, makanan juga punya kekuatan untuk mempererat hubungan yang renggang. 

Dengan seringnya momen berkumpul dan makan-makan, tak heran bila kemudian muncul banyak ahli masak di antara kami. Mereka menjadi ahli bukan lewat kursus atau sekolah memasak, namun lebih karena sudah terbiasa melakukannya. Setiap momen makan bersama seringkali didahului dengan masak bersama. Contoh yang paling sering dilakukan yakni jika ada hajatan. Sebelum resepsi biasanya si empunya hajatan akan mendirikan tenda untuk dapur bersama. Di situlah semua orang baik tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan, akan tumpah riuh di dapur. Yang senior dan yang paling ahli biasanya bertugas untuk menakar bumbu. Sementara yang yunior kebagian tugas mengupas, merajang, dan mengaduk-aduk masakan hingga matang. Lalu untuk yang kecil-kecil, mereka bisa dimintai tolong untuk menjadi kurir. Mereka bisa membelikan bahan masakan atau bumbu yang terlupa dibeli di pasar. Jika tugas ini selesai, mereka pun memperoleh 'upah' sepiring kecil makanan siap masak. Makanan yang dimasak dengan canda tawa, lalu dimakan bersama dengan suka ria.

Pertalian yang begitu kuat dengan makanan seringkali membuat canggung bagi para perantau Minang ketika mereka meninggalkan rumah. Pertama, mereka kehilangan momen masak dan makan bersama. Kedua, tentu saja, mereka kehilangan makanan-makanan favorit yang biasanya bisa disantap kapan suka. Untuk perihal pertama, tak ada obatnya selain rutin pulang kampung minimal setahun sekali. Untuk perihal kedua, dengan menjamurnya rumah makan Padang di berbagai penjuru dunia, membuat rindu itu terobati barang sedikit. Tapi tentu, seenak-enaknya makan di rumah makan, lebih enak makan di rumah sendiri. Nah, untuk ini sudah ada alternatif lainnya. 

Untungnya, kita tidak hidup di era Siti Nurbaya di mana mau ke Jakarta saja perlu 3 hari luntang-lantung di laut. Dengan durasi selama itu, hanya rendang sajalah yang bisa lolos untuk dibawa ke Jakarta. Syukurnya kita hidup di masa JNE sudah lahir. JNE juga sudah hadir dengan layanan sehari sampai (YES). Artinya, makanan apa saja yang teringat di kepala bisa dikirimkan dengan cepat dan aman. Inilah yang Ibu saya lakukan sejak belasan tahun lalu saya meninggalkan rumah. Sekali sebulan, setiap tanggal muda, saya dan keluarga akan bersiap menyambut kedatangan kurir JNE di depan rumah. Begitu kami mendengar teriakan: "Paket", mulut kami pun menyunggingkan senyum. Artinya, paket dari kampung sudah datang. Artinya, dua hingga tiga hari ke depan kami akan makan dengan perut sumringah. Selagi JNE tetap dengan komitmennya untuk mengantar barang dengan tepat waktu, selama itu pula makanan dari kampung sampai dengan kondisi yang sebaik-baiknya, dan selama itu pula saya dan keluarga kecil saya bisa makan dengan bahagia. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun