Berbeda dari sebelum-sebelumnya, kali ini saya akan mengupas dua film sekaligus untuk dijadikan sebagai bahan kajian. Dari pencerahan salah satu rekan baik saya yaitu Aldi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengulas film Siti (2014) dan film pendek Banyu (2018). Â
Kedua film tersebut mengandung kesan dan pesan yang mendalam bagi saya. Ya, memang benar kedua film itu mengandung bawang yang bisa membuat mata saya perih tak kuat menahan pilu hingga sesenggukan.Â
Bayangan kedua film tersebut membingkai memori saya pada sosok ibu dan nenek saya sendiri. Dalam konteks, menjadi tulang punggung keluarga yang berjuang keras untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Ibu dan Nenek merupakan sosok inspiratif bagi saya yang pertama. Semangatnya tak pernah padam untuk berkarya. Mereka seperti air yang menangkan bagi saya, tetapi dapat menjadi badai ketika mereka sedang marah. Saya hanya bisa kembang kempis menyaksikan secorak kisah hidup mereka yang diarungi bersama saya.
Akibat menonton kedua film tersebut di tempat perantauan, membuat saya rindu akan gambar dari Ibu dan Nenek saya. Rindu membuat saya terdorong memberhentikan film beberapa waktu ketika menontonnya.
Siti merupakan film yang kontroversial yang sempat tidak bisa tayang di bioskop negeri Indonesia karya sutradara Ifa Ifansyah yang diperankan oleh Sekar Sari.Â
Walaupun minim ketika menjalankan proses produksinya sehingga menghasilkan film dengan layar hitam putih, namun dinamika konflik yang padat dapat menyentuh dan menghancurkan tebing-tebing besi para penontonnya. Sama seperti film pendek Bayu karya sutradara Richard Suwae dengan tokoh utama bernama Sri.
Mengambil potret sebagai isu yang diangkat dari realitas kehidupan, membuat gagasan berkembang menjadi alur cerita yang unik dan ciamik. Isu yang diangkat seputar dinamika sosial yang masih mendarah daging dikalangan masyarakat.