Perkembangan teknologi yang pesat seperti saat ini menyebabkan penyebaran informasi dapat terjadi hanya dalam hitungan detik dan melalui media yang lebih beragam. Terkait dengan hal itu, perusahaan berlomba-lomba untuk menjadikannya sebagai kesempatan untuk menjadi "lebih dekat" dengan konsumennya. Era pemasaran yang disebut New Wave Marketing oleh Hermawan Kertajaya (2010) menjadikan aktivitas Promotion bergeser menjadi Conversation. Artinya, dalam proses "menawarkan produk" ke pasar, perusahaan seharusnya tidak lagi bersifat vertikal, menjadikan konsumen sebagai prospek yang akan meningkatkan profit perusahaan dengan memberi penawaran-penawaran terbaik bahkan cenderung memberi janji yang terlalu muluk-muluk, membesar-besarkan apa yang dapat diberikan perusahaan kepada konsumen melalui produk/jasa yang dijual. Padahal, ketika ekspektasi pelanggan tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan, itu akan menjadi bumerang bagi perusahaan. Conversation, yang sifatnya lebih horizontal, membuat posisi perusahaan dan konsumen selayaknnya teman, sehingga komunikasi yang dilakukan akan ditanggapi secara lebih positif oleh konsumen. Walaupun tujuannya sama-sama menawarkan produk/jasa, namun penyampaian yang lebih "elegan" tentu akan menghasilkan outcome yang berbeda.
Periklanan, tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu saluran komunikasi pemasaran yang dinilai efektif untuk meningkatkan awareness audiens tentang suatu produk/jasa/brand. Di Indonesia, industri periklanan pada tahun 2012 tumbuh sekitar 20% dari tahun sebelumnya dengan didominasi iklan di televisi (64% dari total belanja iklan), kemudian disusul oleh surat kabar (33%), dan media lain sebesar 3% (sumber : http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/395530-2012--belanja-iklan-media-rp87-triliun , diakses 15 Juni 2013). Dalam menyajikan produk/jasa melalui iklan, seringkali perusahaan menggunakan sosok selebriti sebagai bintang iklan. Upaya yang dikenal dengan istilah celebrity endorsement tersebut dinilai efektif untuk memperkenalkan produk/jasa/brand ke masyarakat yang nantinya diharapkan akan berujung pada pembelian secara berulang. Menurut Shimp (2003) , celebrity endorser berperan sebgai orang yang berbicara tentang produk, yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen yang ditunjukkan pada produk yang didukungnya.
Namun seringkali kita melihat bahwa seorang selebriti meng-endorse lebih dari satu produk/brand. Contohnya artis muda berbakat, Agnes Monica yang menjadi bintang iklan di beberapa produk berbeda, seperti sepeda motor, beberapa jenis minuman, produk kesehatan, produk fashion, produk tata rias, makanan ringan, dan makanan cepat saji (sumber : http://id.omg.yahoo.com/news/agnes-monica-dan-dian-sastrowardoyo-magnet-iklan-televisi-095309382.html , diakses 15 Juni 2013). Dengan banyaknya "portofolio" brand yang diendorse, hal tersebut tentu akan mempengaruhi brand maupun selebriti yang bersangkutan, secara positif dan negatif. Bagi brand, dengan menggunakan celebrity endorser yang memiliki jutaan penggemar, karir yang cemerlang, dan popularitas yang sedang menanjak, tentu akan sangat mudah menciptakan awareness audiens terhadap brand yang diendorse. Hal ini sesuai dengan hasil riset yang dilakukan Chan et al (2013) yang menyebutkan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan ketika memilih celebrity endorser adalah popularitas sang selebriti. Kesesuaian image selebritis dan brand yang diendorse pun harus diperhatikan. Seperti yang kita ketahui, Agnes Monica adalah sosok anak muda yang enerjik, penuh semangat, penuh impian, berprestasi, dan banyak citra positif lainnya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan untuk menggunakannya sebagai endorser maupun bagi audiens yang menyaksikan iklan. Namun, dengan semakin banyaknya iklan yang dibintangi, persepsi konsumen terhadap Agnes sebagai endorser maupun brand yang diendorse mungkin saja mengalami perubahan.
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah "Multi Product Endorsement" yang menurut Um (2008) mengacu pada endorsement yang dilakukan seorang selebriti untuk lebih dari satu brand. Studi sebelumnya terkait fenomena ini menujukkan bahwa praktek multiple product endorsement justru berdampak negatif terhadap kepercayaan konsumen, brand image, dan evaluasi periklanan yang dilakukan. Bahkan lebih jauh lagi, persepsi konsumen terhadap kredibilitas endorser yang semakin menurun tersebut akan berdampak pada sikap terhadap iklan (attitude toward ad) dan minat beli. Hal inilah yang seharusnya mendapat fokus lebih dari perusahaan ketika akan memutuskna siapa yang akan menjadi endorser produk/brand nya. Jangan sampai upaya yang seharusnya bertujuan meningkatkan awareness dan minat beli malah salah sasaran yang justru merusak citra brand yang ingin ditawarkan ke konsumen. Pengkajian ulang tentang siapa sesungguhnya yang menjadi target produk/brand, ukuran jangkauan produk/brand, image yang ingin dibangun terkait brand, dan kesesuaian image endorser dan brand harus dilakukan dengan cermat untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI