Mohon tunggu...
Stefanus Hamonangan
Stefanus Hamonangan Mohon Tunggu... -

Be yourself, do it your self, and stay punk!

Selanjutnya

Tutup

Nature

WWF Indonesia: Pengelolan Taman Nasional Tesso Nilo Tetap di Bawah Pemerintah Bukan Kami!

15 Februari 2015   23:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:08 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dalam sebuah seri wawancara dengan para tokoh masyarakat yang ada di seluruh negeri ini, kami mencoba mencari tahu sebuah pandangan berbeda berdasarkan pertanyaan kritis yang kami berikan kepada mereka. Di bagian pertama seri wawancara tersebut, kami memberikan sebuah pernyataan mengenai beberapa LSM asing yang suka menjadikan Indonesia sebagi target operasi kampanye mereka. Salah satunya adalah WWF, LSM yang bergerak di lingkungan hidup dan satwa liar. Dalam wawancara ini kami meminta Aditya Bayuanda, seorang perwakilan WWF untuk Indonesia. Kami memeinta pendapatnya terkait beberapa isu terbaru terkait sepak terjang WWF Indonesia.

WWF Indonesia didirikan pada tanggal 19 Juni 1988 dan memiliki tiga kantor utama di Indonesia. Tugas awal mereka adalah fokus pada konservasi tetapi belum memberikan kritik terkait lingkungan. Kelompok LSM asing seperti Global Witness pernah menuduh WWF menjual diri ke perusahaan karena telah berusaha mencegah terbitnya sebuah buku berjudul “The Dark Side of the Panda”. Buku tersebut ditulis oleh seorang mantan jurnalis TV Jerman untuk ARD, buku itu seakan-akan menyindir mengenai apa yang disebut "tekanan besar pada penerbitan".

Salah satu isi dalam buku tersebut terkait dugaan kuat yang mengarah kepada WWF mengenai  peran mereka dalam relokasi masyarakat di Afrika. Seperti WWF, kelompok aktivis Greenpeace juga menghadapi kenyataan terkait praktik dan tata cara mereka dalam beraksi serta  legalitas mereka dalam bertindak. Sebagai contoh India. Negara ini memasukan Greenpeace  dalam daftar hitam dan langsung mendeportasi Direktur Eksekutif Kumi Naidoo ketika ia tiba di India. mereka dianggap sebagai ancaman bagi keamanan ekonomi nasional negara terebut. Sedangkan, di Peru organisasi yang berjuluk  kelompok hijau ini menghadapi investigasi kriminal. Di Ohio, kelompok ini juga lolos dari tuntutan hukum. Sedangkan Kanada, Australia, dan Selandia Baru, menstop donasi untuk kelompok ini. Greenpeace juga mengalami penolakan di Korea dan membuat mereka kehilangan sejumlah pendonor.

Namun, pertikaian LSM ini juga menimbulkan sebuah pertanyaan tentang hubungan yang sebenarnya yang dilakukan oleh mereka seperti yang pernah diungkapakanmantan Menteri Lingkungan Inggris  yang meneyebut seperti "gumpalan hijau".

Awal Januari 2015 aktivis Greenpeace dan kontributor dari Guardian menyangkal telah menyerukan pemenggalan kepala. LSM-LSM ini telah jatuh cinta dengan pandangan radikal seperti ISIS. Pada kenyataannya, mengutuki tindakan Greenpeace dan WWF akan semakin menantang.

Hubungan antara ‘green blob’ dan industry hijau menunjukan tindakan yang konsisten tidak kritis ataupun berat sebelah, contohnya adalah banyaknya kutipan dari HCV termasuk Green Peace, oleh karena itu WWF membuat laporan melalui pelatihan perserikatan hujan tropis dengan kelompok yang sama atau laporan review keanggotaan yang dibuat oleh anggota kelompok green service yang lain, Rainforest Action Network. Prinsip kepanjangan tangan hampir tidak diaplikasikan. Aditya dalam interviewnya “meskipun dalam kemajuan yang sedang”, “tidak banyak perubahan” pesan yang sama diisukan oleh greenpeace dan Aksi rainforest.

Dalam siaran persnya tanggal 5 Februari 2015, Greenpeace menulis setelah menentang keduanya baik itu APP dan pesaingnya. Dengan hubunganya dengan posisi organisasi Greenpeace yang sudah lama ada, mereka tidak pernah menyokong perusahan individu atau produk produk mereka. Kita tidak pernah menyarankan pembelian dari perusahaan, kita tetap seperti itu sejak tahun 2014.

RAN lebih berterus terang lagi dalam siaran pers yang mereka tulis, terlalu dini untuk mengatakan APP yang mana yang akan mengikuti komitmen pertanggung jawabannya karena implementasi perusahaan memiliki gap yang signifikan, kurangnya ketransparaan, ada kebutuhan yang jelas untuk monitor dan verifikasi terhadap performa perusahaan. RAN percaya bahwa permintaan investor dan konsumen memverivikasi penampilan dan hasil akhir sebelum memulai lagi bisnis dengan APP.Itu menimbulkan pertanyaan jika APP membelokan kembali sampai menjadi isyarat untuk enviromentalis. Tapi disamping kemajuan yang biasa biasa saja.

Kami bertanya kepada Aditya Bayunda, dia adalah aktivis lingkungan yang mempunyai latar belakang ekonomi dan kehutanan. Sekarang mempelajari ilmu politik dan pemerintahan.

APRIL dan WWF Indonesia dalam pertemuanya dengan pemerintah Indonesia bekerjasama dalam mengembangkan TNNP yang setelah pertimbangan, dialihkan kepada WWF, diberikan kepercayaan kepada WWF untuk mengelolanya. Tesso Nilo adalah satu dari hutan daerah rendah yang berada di Sumatra dengan area 38, 576 hektar.Tesso Nilo berlokasi di Pelalawan dan dikukuhkan pada tanggal 19 Juli 2004. Tiga bulan kemudian, taman itu dikembangkan hingga 83.069 hektar.Hutan ini berfungsi untuk menjadi habitat untuk gajah dan macan, dua dari sembilan kantung yang ada di Tesso Nilo berada di Riau.

Menurut data dari WWF Indonesia, institusi yang didesain untuk mengelola TNNP oleh pemerintah, selama 25 tahun terakhir, Riau sudah kehilangan 34 juta hektar hutan. Kira kira 65% dari hutan lindung sudah hilang. Sementara, Greenpeace dan WWF terus menerus mengklaim hanya 400 macan tersisa. Tapi pengujian dari laporan Greenpeace mengenai “Licence to Kill” memiliki kevalidan yang kecil. Laporan Greenpeace menyebutkan “memperkirakan macan di populasi hutan yang lebat sangatlah sulit dan mungkin saja jumlah macan lebih tinggi dari apa yang diperkirakan. Tapi penolakan hasil populasi dari habitat yang hilang dan isu lain pada laporan ini bersifat akut.

Laporan yang berlebihan mengenai isu yang sama dan menghasilkan isu terpercaya untuk kelompok hijau di Indonesia. Pada 6 Februari, WWF menyuarakan klaim yang sama diwakili oleh Nyoman Iswarayoga, Direktur WWF Indonesia. Tapi data Greenpeace tidak menunjukkan hal yang baru tapi seolah tetap terpercaya dengan laporan perkiraan yang diutarakan selama delapan tahun.Laporan lebih jauh menulis gambaran-gambaran yang dilebih-lebihkan dimana area tempat kebakaran tercatat. Juga istilah “forest fire” digunaakan oleh Greenpeace dalam laporanya tidak benar. Istilah yang lebih cocok adalah “land fires”. Itu memunculkan pertanyaan mengapa kelompok seperti Greenpeace berbohong mengenai fakta dan melebih-lebihkan klaim yang dibuat?

Jawabannya bisa ditemukan di Greenpeace atau WWF yang memberikan pernyataan tidak ada transaksi keuangan diterima oleh perusahaan dan pemerintah. Wilfried Huismann berkata WWF International sudah menerima jutaan dolar dari link-nya dengan pemerintah dan bisnis, dan Huismann berpendapat bahwa dengan meng-set “round tables” dari para pelaku industri dalam strategi komoditas misalny, minyak kelapa sawit, kayu, kedelai, biofuel, dan biji coklat. WWF International sudah menjadi kekuatan politik yang terlalu dekat dengan industri dan dalam bahaya untuk dipercaya dalam kaitannya dengan uang dan hukum.Menurut data, WWF menerima 200,445 USDdari  CWF, terdiri dari pemberian kelegalan industry America misalnya  (perusahaan Ford) atau DUKE. Greenpeace menerima kira-kira1,400,000 USD dengan pemberian sebelumnya. Sejak September 2014, Greenpeace menerima pembayaran pada Bitcoin.

Sofyan Wanandi, penasihat moderat dan dan kebijakan berkata bahwa orang-orang dihasut untuk tidak menggunakan minyak kelapa sawit. Kita harus ingat bahwa itu adalah Yudhoyono yang membuat drama konstutional. Pada tahun 2013 silam ada kabar berhembus ditemukannya intervesi LSM asing sebagai biang kampanye hitam dan intelijen negara-negara asing kembali mengemuka setelah Wakil Ketua Komisi IV DPR, Firman Subagyo (saat itu) menyatakan bahwa organisasi lingkungan World Wildlife Fund for Nature (WWF) tidak mampu mengatasi kerusakan hutan yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Selain tudingan yang dialamatkan ke WWF Indonesia oleh DPR, beredar kabar juga bahwa mereka melakukan kerjasama dengan perusahaan kertas APP dan APRIL. Bahkan kabar tersebut dianggap sebagai bentuk kamuflase WWF Indonesia dalam mencari keuntungan. Apalagi selama ini WWF Indonesia dikenal selalu mengampanyekan untuk menjaga kelestarian hutan agar habitat satwa liar yang ada di sana tetap terjaga.

Namun untuk lebih jauh lagi mengetahui fakta tentang kebenaran tersebut juga perkembangan Taman Nasional Tessa Nilo saat ini, kami akhirnya mewawancarai salah satu pengurus WWF Indonesia, Aditya Bayunanda. Wawancara ini bertujuan agar kita bisa lebih tahu  apa yang sebenarnya terjadi di Taman Nasional Tessa Nilo. Berikut petikan wawancaranya.

Bicara tentang Taman Nasional Tesso Nillo, apakah hingga saat ini WWF Indonesia masih dipercaya pemerintah untuk mengelola? Bisakah Anda ceritakan awal mulanya WWF Indonesia bisa ditunjuk pemerintah untuk mengelola TNTN?

Kewenangan pengelolaan Taman Nasional berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku ada pada pemerintah. WWF tidak pernah diberikan wemenang untuk melakukan pengelolan TNTN, WWF merupakan salah satu yang mengusulkan penetapan Taman Nasional Tesso Nilo.

Pengusulan ini dilatarbelakangi bahwa hutan di TNTN merupakan representasi hutan dataran rendah Sumatera yang tersisa yang memiliki keanekaragamana hayati tinggi dan merupakan habitat gajah sumatera yang terancam punah.

Program kegiatan WWF di TNTN lebih pada pencegahan kematian gajah Sumatra akibat konflik dengan masyarakat disana dengan memastikan bahwa kawanan gajah liar tidak masuk kedalam areal perkebunan masyarakat dimana kawanan gajah tersebut kemudian akan menghadapi bahaya kematian karena dianggap merusak perkebunan masyarakat.

Bagaimana perkembangan TNTN semenjak dikelola oleh WWF Indonesia?

Ditegaskan sekali lagi, pengelolaan TNTN secara penuh masih berada di bawah wewenang pemerintah. Saat ini di dalam kawasan TNTN hanya sekitar 20 ribu hektar tutupan hutan yang tersisa dari luas kawasan awal yang ditetapkan seluas 83 ribu hektar.

Pada tahun 2013, DPR pernah menuding bahwa WWF Indonesia gagal membenahi TNTN, apa tanggapan Anda terkait tudingan tersebut?

Perbaikan untuk pengelolaan dan perlindungan TNTN seperti disampaikan sebelumnya juga adalah wewenang dan tanggung jawab pemerintah, yang bisa dilakukan bersama-sama dengan berbagai pihak yang dirasa dapat berkontribusi dalam prosesnya. Dengan demikian tudingan itu sebenarnya tidak tepat ditujukan kepada WWF Indonesia.

Apakah respon negatif dari DPR terhadap kinerja WWF Indonesia sebagai bentuk kegagalan proyek WWF Indonesia terkait TNTN?

Menurut kami respon negatif yang ditujukan pada kami terkait perlawanan pemilik perkebunan sawit illegal didalam kawasan TNTN yang juga melakukan demonstrasi ke DPRD dan Bupati.

WWF selalu menyerukan agar penegakan hukum (ketaatan pada peraturan perundangan yang berlaku) dilakukan terhadap perkebunan kelapa sawit illegal didalam kawasan TNTN baik kepada pemerintah maupun bisnis salah satunya dengan menghimbau agar tidak menampung produk dari perkebunan sawit yang illegal.

Beredar kabar Anda akan mengadakan kerja sama dengan sebuah perusahaan kertas, apakah kerja sama ini atas nama pribadi Anda atau kerjasama secara Organisasi? Seperti apa bentuk kerja sama tersebut?

WWF tidak memilik kerja sama dengan perusahaan kertas APP ataupun APRIL bila itu yang di maksud. WWF saat ini merupakan salah satu dari para pihak yang melakukan komunikasi dengan dua perusahaan besar pulp and paper di Indonesia APP dan APRIL. Komunikasi ini sebagai bagian dari usaha WWF untuk mendorong transformasi kedua perusahaan dalam mewujudkan komitmen kelestarian yang sudah dideklarasikan keduanya kepada publik.

Tidak ada perjanjian maupun transaksi keuangan diantara WWF dengan kedua perusahaan tersebut.

Bukankah ini pertanda bahwa lembaga lingkungan hidup kompromi dengan perusahaan yang selama ini menjadi target kampanye?

Advokasi WWF dilakukan agar kedua perusahaan tersebut bersedia melakukan perubahan dengan menjadi lebih ramah lingkungan dan menghentikan deforestasi. Bilamana perusahaan tersebut (maupun perusahaan lainnya) berjanji untuk berubah dan meminta masukan mengenai bagaimana melakukan perubahan tersebut maka menjadi kewajiban bagi WWF selaku LSM konservasi untuk memberikan pendapat dan masukan yang terbaik agar mereka dapat melaksanakan perubahan sesuai prinsip-prinsip konservasi yang berlaku dan melakukan monitoring untuk menjaga bahwa komitmen  perusahaan-perusahaan tersebut benar-benar dilaksanakan dan bukan merupakan komitmen kosong.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun