Dalam gelap kamar yang hanya diterangi cahaya layar ponsel, seorang remaja menatap beranda media sosialnya. Jemarinya berhenti di satu unggahan, lalu bergulir lagi tanpa sadar. Apa yang ia lihat bukan sekadar potongan berita, melainkan serpihan narasi yang sengaja dipilihkan untuknya. Ia tak tahu, di balik layar kecil itu ada algoritma yang bekerja tanpa lelah, menimbang setiap klik, setiap tatapan, setiap jeda yang ia lakukan.
Algoritma itu seperti dalang tak kasat mata. Ia bukan hanya menampilkan informasi, melainkan mengendalikan perhatian, mengarahkan emosi, bahkan membentuk cara pandang manusia terhadap dunia. Media sosial yang dulu digadang-gadang sebagai ruang berbagi dan menjalin hubungan, kini berubah menjadi mesin manipulasi yang halus tapi mematikan.
Tulisan ini bukan sebagai resensi, tapi hanya sekedar komentar dan pendapat untuk film yang sempat menjadi fenomena banyak orang dan viral di sosial media. "The Social Dilemma" Â sebuah film documenter di Netflix membongkar sisi gelap media sosial. Media sosial, yang awalnya hadir sebagai ruang berbagi informasi dan mempererat koneksi antarmanusia, kini berubah menjadi mesin manipulasi raksasa. Film dokumenter di Netflix menyingkap bagaimana algoritma bekerja layaknya "dalang tak kasat mata", yang mampu mengendalikan atensi, mengarahkan emosi, hingga membentuk pola pikir masyarakat.
Film di Netflix itu mengingatkan kita bahwa problem media sosial bukan sekadar soal teknologi, melainkan tentang etika, kesadaran, dan masa depan umat manusia. Pertanyaannya, akankah kita membiarkan algoritma mengendalikan eksistensi, atau kita mulai membangun kesadaran kritis untuk merebut kembali kendali atas kebenaran. Manipulasi berita di media sosial tidak hanya melahirkan hoaks, tetapi juga krisis eksistensial. Masyarakat terjebak dalam ruang gema (echo chamber) yang membuat mereka hanya menerima informasi searah, memperkuat keyakinan tanpa ruang kritis. Identitas individu perlahan terkikis, digantikan oleh identitas kelompok yang rapuh, mudah diadu domba, dan rentan terhadap polarisasi. Dampaknya tidak sederhana yaitu "Kehancuran eksistensial".
Kehancuran eksistensial
Yang dimaksud dengan "kehancuran eksistensial adalah kepercayaan publik terhadap institusi menurun, relasi sosial renggang, bahkan mental generasi muda terguncang. Mereka dibanjiri perbandingan semu, tekanan ekspektasi, hingga kecemasan kolektif yang mengikis makna hidup. Manusia kehilangan pijakan akan siapa dirinya di tengah lautan informasi yang kabur. Saat manusia tak lagi mampu menjawab "siapa aku sebenarnya" karena identitasnya ditenggelamkan oleh derasnya arus informasi yang kabur, baru kita tersadar bahwa persoalan media sosial bukanlah sekadar persoalan teknologi. Ia adalah soal etika, kesadaran, dan masa depan kemanusiaan.
Manipulasi berita di media sosial menimbulkan krisis eksistensial. Individu kehilangan pijakan identitas karena kebenaran dikaburkan oleh framing, opini kritis terbungkam oleh spiral of silence, dan prioritas hidup diarahkan oleh agenda setting. Krisis ini bukan hanya soal informasi, tetapi soal makna hidup, hubungan sosial, dan kepercayaan pada realitas itu sendiri.
Komunikasi digital
Media sosial hadir sebagai ruang komunikasi digital yang memungkinkan pertukaran informasi tanpa batas. Film dokumenter The Social Dilemma membuka tabir gelap bahwa media sosial bukan sekadar medium netral, melainkan aktor aktif yang membentuk opini, perilaku, bahkan eksistensi manusia. kebenaran dikaburkan oleh framing, opini kritis terbungkam oleh spiral of silence, dan prioritas hidup diarahkan oleh agenda setting.
Agenda Setting menjelaskan bahwa media tidak selalu memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi berhasil memengaruhi isu apa yang dianggap penting untuk dipikirkan. Dalam konteks media sosial, algoritma menentukan isu apa yang muncul di beranda pengguna. Hasilnya, publik diarahkan untuk fokus pada berita tertentu, sementara isu lain tenggelam dalam arus informasi. Manipulasi ini menciptakan realitas semu, di mana "penting" tidak selalu berarti "benar", melainkan "diatur agar tampak penting".
Noelle-Neumann dalam teorinya menyebutkan bahwa individu cenderung diam ketika pandangannya berbeda dengan opini mayoritas, karena takut terisolasi. Media sosial memperkuat spiral ini dengan menciptakan echo chamber. Pengguna hanya terpapar pada opini yang seragam, sehingga suara berbeda tenggelam atau dibungkam melalui cyberbullying dan cancel culture. Akibatnya, keberanian untuk berpikir kritis terkikis, dan manusia kehilangan ruang eksistensialnya untuk mengungkapkan kebenaran.