Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senyum Duchenne: Bahasa Tulus Servant Leadership

25 September 2025   15:26 Diperbarui: 25 September 2025   15:26 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, para guru dan karyawan SMP dan SMA Regina Pacis Jakarta mengikuti rekoleksi sehari penuh dengan tema Servant Leadership. Rekoleksi yang dipandu Pak Nasarius Sudaryono, dari Yogyakarta, ini menjadi ruang refleksi yang hangat. Hari ini, Kamis 25 September 2025, giliran Unit TK dan SD yang meneruskan perjalanan batin tersebut. Dari sekian banyak materi yang menggugah tentang pengembangan diri---mulai dari belajar dari Paus Fransiskus, menjadi pendidik yang bahagia, hingga menemukan kekuatan keutamaan---ada satu hal sederhana namun membekas di benak saya: tentang senyum Duchenne.

Senyum tampak sepele. Ia lahir begitu saja, sering tanpa kita sadari. Namun dalam keseharian, senyum bisa menjadi jembatan yang luar biasa. Ia menyejukkan hati, mencairkan suasana, bahkan memberi energi baru. Senyum, dengan kesederhanaannya, adalah hadiah yang tidak pernah merugikan siapa pun.

Mengapa Kita Perlu Tersenyum?

Dalam dunia pendidikan, senyum adalah bahasa pertama sebelum kata. Seorang guru yang menyapa dengan senyum membuka ruang belajar dengan rasa aman. Seorang karyawan yang melayani dengan senyum menularkan optimisme. Bahkan seorang pemimpin yang menyalami rekan kerjanya dengan senyum menciptakan iklim kerja yang lebih sehat.

Senyum juga memiliki dampak psikologis. Banyak penelitian membuktikan bahwa tersenyum, bahkan ketika hati sedang muram, mampu memicu pelepasan hormon dopamin dan serotonin---zat kimia otak yang berhubungan dengan rasa bahagia. Senyum bukan hanya mengubah wajah, melainkan juga mengubah suasana hati.

Lebih jauh, senyum memperbaiki relasi sosial. Dalam sesi rekoleksi kemarin, kita diajak untuk menjadi Happy Educator dan menggali sumber emosi positif. Senyum adalah pintu masuknya. Dengan senyum, komunikasi menjadi lebih hangat, konflik lebih mudah diurai, dan kolaborasi lebih cepat tercipta.

Rahasia Senyum Duchenne

Di sinilah teori Duchenne Smile menjadi menarik. Guillaume Duchenne, seorang ahli neurologi Prancis abad ke-19, meneliti bahwa tidak semua senyum itu sama. Ada senyum sosial yang sekadar basa-basi---bibir ditarik, tetapi mata tetap dingin. Namun ada pula senyum tulus, yang melibatkan otot di sekitar mata sehingga tampak "menyipit" atau berbinar. Senyum inilah yang disebut senyum Duchenne.

Senyum Duchenne dianggap sebagai ekspresi kebahagiaan yang autentik. Ia tidak bisa dipalsukan begitu saja, karena mata selalu memantulkan kejujuran batin. Ketika seseorang tersenyum dengan tulus, orang lain bisa merasakan energi yang berbeda: hangat, menular, dan meyakinkan.

Dalam konteks Servant Leadership, senyum Duchenne adalah wujud kecil dari kepemimpinan yang melayani. Ia bukan senyum yang dipaksakan untuk menyembunyikan otoritas, melainkan senyum yang lahir dari hati yang ingin hadir bagi sesama.

Senyum dalam Kepemimpinan Pelayan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun