Paus Fransiskus, yang kita renungkan dalam sesi pertama rekoleksi, selalu menekankan pentingnya wajah yang ramah. Bagi beliau, senyum adalah tanda kemurahan hati. Guru besar kepemimpinan James Hunter pun pernah menulis, pemimpin pelayan ditandai bukan oleh kuasa yang ditunjukkan, melainkan oleh kasih yang dibagikan---dan kasih itu kerap hadir dalam bentuk sederhana: sebuah senyum.
Bila seorang guru, karyawan, atau pemimpin mampu tersenyum tulus, maka ia sedang menjalankan pelayanan yang paling dasar: menghadirkan rasa aman bagi orang lain. Senyum Duchenne menjadi energi kecil yang mampu menggerakkan perubahan besar.
Catatan Akhir
Rekoleksi kemarin menegaskan bahwa pengembangan diri bukan semata soal strategi atau teknik kerja, melainkan juga tentang hati yang tulus melayani. Senyum, terutama senyum Duchenne, adalah simbol nyata dari pelayanan itu. Ia sederhana, tetapi punya daya ubah luar biasa---bagi diri sendiri, bagi komunitas, dan bagi dunia.
Maka, mari kita berlatih tersenyum tulus setiap hari. Senyum yang bukan basa-basi, melainkan pancaran hati yang sungguh ingin hadir untuk sesama. Sebab pada akhirnya, pemimpin yang sejati bukan hanya pandai berkata-kata, melainkan mampu menyapa dunia dengan wajah yang bersinar ramah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI