SULIT dibayangkan. Â Pulau Derawan yang luasnya hanya 44,6 hektar dan penduduk di tahun 2017 sebanyak 1.491 jiwa, setiap pekan menghasilkan sebanyak 1000 kantong besar sampah.
Kemana sampah yang jumlahnya banyak itu dibuang. Pulau Derawan, tidak punya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Pernah diusulkan. Tapi ditolak warga. Bagaimana mungkin, pulau karang di gali lalu dibuat TPA. Pengaruhnya ke air tanah yang dikonsumsi warga.
Bertahun-tahun, sampah tidak dikelola dengan serius. Â Padahal, Derawan menjadi salah satu ikon wisata di Berau bahkan di Kalimantan Timur.
Sampah rumah tangga di buang di area sepi penduduk. Â Juga disekitar lapangan bola. Betul, sampahnya disitu, tapi aromanya sampai di perkampungan yang jaraknya hanya puluhan meter.
Jumlah sampah terus bertambah. Â Di luar tiga hari akhir pekan, sampah hanya diproduksi rumah tangga penduduk. Â Akhir pekan, datangnya wisatawan, jumlah sampahpun bertambah.
Pemkab menempatkan Insinerasi, agar sampah dibakar saja. Tak bisa difungsikan. Â Alasannya, secara analisis dampak lingkungan tetap mengganggu, polusi dari hasil pembakaran. Alat yang harganya miliaran itupun, tak bisa digunakan.
Wisatawan mulai mengeluh. Derawan tak menawan lagi. Â Sampah ada dimana-mana. Â Bahkan, warga nekad membuang sampah ke laut. Ini yang lebih berbahaya. Diketahui, pantai sekitar Pulau, salah satu yang dijadikan Penyu hijau bermain. Juga Hiu Tutul yang hanya beberapa mil di lepas pantai Derawan.
Tak ada pilihan lain. Sampah harus diangkut keluar pulau. Masyarakat, yang nota bene mendapatkan berkah dari datangnya wisatawan, juga diajak berfikir.
Masyarakat dipungut bayaran. Biaya operasional, belum juga mencukupi. Â Mulai pembayaran tenaga di pulau, sewa kapal hingga sewa upah tenaga pengangkut sampah di Tanjung Batu (Ibukota kecamatan Pulau Derawan).
Kepala Kampung harus menyisihkan biaya sebanyak Rp24 juta setiap bulan. Untuk mengatasi sampah di pulau wisata itu. Nilai itu bagi kampung dianggap besar. Tapi, untuk sebuah pulau wisata kelas dunia, tiga kali lipatpun tak masalah.
Bulan pertama melakukan "ekstradisi", memang tiap hari. Sampahnya banyak sekali. Bulan berikutnya, volumenya berkurang. Lama-lama tuntas juga. Â Tak ada lagi tumpukan sampah sekitar lapangan bola. Tak ada lagi aroma yang menyengat.Â